oleh: Alpiadi Prawiraningrat
Judul
Artikel : “Negara
dan Kapital di Bawah Orde baru: Kajian Teoritis” dalam buku “Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia.”
Penulis : Richard Robison
Data
Publikasi : Richard Robison, Soeharto
& Bangkitnya Kapitalisme Indonesia (Depok:
Komunitas Bambu, 2012), hlm. 83-101.
Artikel berjudul “Negara dan
Kapital di Bawah Orde Baru: Kajian Teoritis” merupakan sebuah tulisan yang berisikan analisa terhadap kapitalisasi pada
rezim Orde Baru di Indonesia yang dilihat dari berbagai pendekatan. Tulisan ini merupakan bagian dari buku Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia karya Richard Robison. Penulis mengajak pembaca untuk mendiskusikan tentang beberapa hal, yaitu: Bagaimanakah posisi negara dalam kapitalisme
pada masa Orde Baru di Indonesia? dan
Kontradiksi apasajakah yang dihadapi rezim Orde Baru dalam kaitannya dengan
kapitalisasi di Indonesia?
Sampai hari ini, di antara kita mungkin ada yang
bertanya-tanya bagaimana sebenarnya kapitalisme muncul dan berkembang di
Indonesia? Kenyataan hari ini bahwa hampir semua segi kehidupan kita dijejali
produk-produk kapitalisme (physical capital) dan bahkan telah menjadi
sistem kehidupan dan pola pikir (human capital) tidak bisa dilepaskan
dari peran pemerintah masa lalu republik ini. Dan Soeharto, presiden yang
terjungkal sebab reformasi 1998 itu, diklaim sebagai salah satu orang di balik
menyuburnya kapitalisme di Indonesia. Mengawali tulisannya, Robinson
mengungkapkan bahwa dalam kaitanya dengan kapitalisme di Indonesia, pemerintah
memiliki peran yang sangat penting karena tidak hanya menentukan tapi juga
memberikan kerangka dasar dalam penentuan kebijakan fiskal bahkan investasi dari
pihak swasta.
Warna
kehidupan pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto yang paling nyata terlihat
ialah pemerintahan militer yang sangat otoriter dan kekuasaan yang tersentralisasi.[1]
Dengan kelihaian dan
tipu muslihatnya Soeharto dapat mempertahankan rejim
otoriter Orde Baru sebagai pemerintahan yang harus diakui eksistensinya di
Indonesia.[2] Benedict R.O.G Anderson juga mengkritik
pemerintahan Soeharto sebagai tidak manusiawi dan membenarkan rejimnya untuk
menggunakan kekerasan di mana saja dan kapan saja.[3] R. William Liddle juga mengakui bahwa hal-hal
yang bersifat intimidatif terus berlanjut dan menjadi bukti sejati dari
pemerintahan Soeharto[4] karena distribusi
kekuasaan disingkirkan, pengambilan keputusan yang sangat sentralistiki, “disikutnya” lawan-lawan politik dan
dibatasinya partisipasi masyarakat dalam kehidupan berpolitik.
Lalu
bagaimana keterkaitanya dengan konteks politik untuk menganalisa antara negara,
eknomi dan masyarakat pada rezim Orde Baru saat itu? Berkaitan dengan hal tersebut, Robinson
mengungkapkan bahwa terdapat kerangka teoritis dalam melakukan analisis
terhadap kebijakan negara dalam kaitanya dengan kapitalisasi di Indoenesia pada
masa orde baru,[5]
yaitu: a) Orde Baru sebagai negara teknokrat; b) Orde Baru sebagai pemerintahan
biroratik; c) Orde Baru sebagai negara komprador; d) Orde Baru sebagai negara qua negara.
Memandang
Orde Baru sebagai negara teknokrat, Robison mengungkapkan Orde Baru sendiri
menerima negara berada di atas politik sebagai suatu justifikasi ideologi yang
penting. Para ideolog Orde Baru
menggunakan pandangan ini untuk menjelaskan setiap kebijakan ekonomi negara
dibuat untuk kepentingan nasional dan didasarkan kriteria “ekonomi” yang
objektif dan universal. Kaum teknokrat mengacu
pada bentuk pasar bebas dan ekonomi pintu terbuka yang dianjurkan oleh ekonom
liberal dan ortodoks barat. Kekuasaan teknokrat
dalam pandangan ini bukannya didapat dari monopoli ilmu pengethauan, tetapi dari
peran mereka sebagai manajer serangkaian kebijakan ekonomi yang dapat diterima
oleh Orde Baru, utamanya sebagai manajer proses negosiasi utang dan penulis kebijakan
yang dirancang untuk menyediakan akses masuknya modal international ke Indonesia. Dapat dikatakan bahwa kekuatan mereka secara
sangat fundamental timbul dan terletak pada kebutuhan Indonesia akan investasi
kapital, pinjaman dan bantuan international.[6]
Dalam hal
pandangan Orde baru sebagai pemerintahan birokratik, Robison menjelaskan pendekatan
ini telah diterapkan pada Orde Baru dengan gambaran utamanya ialah pembagian
masyarakat ke dalam golongan “elite” ditentukan oleh posisinya dalam birokrasi.[7] Dalam pendekatan ini politik ditandai dengan
dua fenomena,[8]
yaitu: pertama, pengambilalihan
layanan serta kekuasaan di dalamnya oleh penguasa politik sehingga bercampurnya
kekuatan politik dengan otoritas birokrasi; Kedua,
organisasi kegiatan politik dalam struktur patron dan klien, mekanisme yang
berlaku ditujukan untuk mendapatkan akses keuntungan distribusi. Dalam
pendekatan ini tidak terdapat pengakuan secara sadar, menghindari analisis
sistematik peran negara dalam mengamankan kondisi politik bagi keberadaan
tatanan ekonomi sosial yang ada atau bagi dominasi kelas-kelas atau kelompok
sosial tertentu. Pendekatan ini menghindarkan
pilihan, baik perubahan struktural radikal pada masyarakat atau penggulingan
politik Orde Baru. Hubungan struktural
di antara kebijakan, masyarakat dan ekonomi merupakan rangkaian elemen yang
hilang dalam pendekatan sistem pemerintahan birokratik.
Berkaitan
dengan pendekatan Orde Baru sebagai negara komprador, Robison mendasarkannya
pada teori ketergantungan, yang merupakan reintegraasi kapitalisme Indonesia ke
dalam sistem global yang berarti adanya subordinasi struktur ekonomi Indonesia
sebagai yang diperlukan untuk modal international, juga subordinasi tehadap
borjuasi domsetik Indonesia, baik dengan hubungan mereka sebagai komprador atau
eliminasi.[9]
Sejalan
dengan Prof. Robison, Yoshihara Kunio menyebut kapitalisme Asia Tenggara sebagai
kapitalisme komprador. Kapitalisme komprador ditunjukkan negara sebagai agen industri
manufaktur asing di negerinya sendiri.[10]
Kunio dengan yakin menyodorkan sebuah tesis bahwa kapitalisme Asia Tenggara
adalah ersatz capitalism (kapitalisme
semu/kapitalisme yang menjadi substitusi inferior dari kapitalis yang
sebenarnya), di mana campur tangan pemerintah di satu sisi dan perkembangan
teknologi yang tidak memadai di sisi lain menjadi faktor di balik ersatz tersebut.[11]
Sedangkan Orde
baru sebagai Negara Qua Negara,
Robison memaparkan bahwa birokrat politik di Indonesia merupakan kekuatan
sosial politik padu dan saling bertaut dengan hak-hak mereka sendiri, dengan
kepentingan dan kekuatan yang diperoleh dari posisi mereka sebagai aparat
negara.[12] Terdapat tiga faktor penting yang mendorong
langkah-langkah mereka yaitu pemeliharaan negara itu sendiri dengan
mempertahankan dominasi militer serta posisi pribadi dan kelompok mereka dalam
aparatur negara.[13] Dalam pandangan ini kebijakan negara terhadap
modal international harus dipandang sebagai konsekuensi kebutuhan untuk
membangun basis pendapatan negara. Memahamai
pandangan ini, Robison mengutip ungkapkan Anderson yang menilai bahwa kebijakan
Soeharto tidak dapat dipahami dari sudut pandang artikulasi kepentingan
nasional yang dikemukakan secara populer, tetapi sepenuhhnya rasional dari
sudut pandang negara dengan sejarah jauh lebih panjang dari Indonesia.[14]
Jika melihat
keterkaitan negara dan kelas, penulis mengungkapkan bahwa kekuatan negara dalam
masyarakat kapitalis tidak secara otomatis dapat direduksi sebagai kekuatan
kelas, karena negara itu suatu sistem dominasi politik yang relatif bersifat
otonom terhadap kekuatan kelas yang sebenarnya Orde Baru sangat sensitif
terhadap rasa tak puas di antara kelas-kelas tersebut, padahal mereka menjadi
basis dukungan masyarakat.[15]
Lalu
bagaimana kontradiksi kapitalisme di Indonesia yang dihadapi negara orde baru? Robison
memaparkan bahwa terdapat sejumlah kontradiksi penting dalam kapitalisme Indoneisa
yang dihadapi negara Orde Baru[16],
yaitu: a). Kontradiksi antara kapital domestik dan internasional sehingga melibatkan
negara dalam menghadapi berbagai kendala, di satu pihak modal internasional
menyediakan sumber-sumber keuangan serta investasi modal secara langsung, di
lain pihak pemerintah Indoneisa juga mencari sumber-sumber langsung ke
sektor-sektor ekonomi Indonesia dalam rangka distribusi investasi kapital
global yang masuk akal ditingkat korporasi; b) Kontradiksi di antara kapital
International; c) Adanya keresahan di kalangan borjuasi kecil pribumi yang
begerak diusaha menengah dan kecil; d) Adanya kontradiksi antara praktik
penyediaan kekuasan negara dan sumber daya oleh para pejabat negara dengan
tuntutan kapital secara rasional, e) Kontradiksi antara penguasa politik dengan
kaum “kelas menengah” tentang masalah pemerintah otoriter, demokrasi dan penegakan
hukum.
Kontradiksi
ini dari waktu ke waktu mencapai suatu titik krisis yang mengancam sistem
secara fundamental dan secara keseluruhan serta memerlukan resolusi dari
negara. Oleh karena itu, mengakhiri
tulisanya Robison mengungkapkan bahwa fungsi negara harus juga dipertimbangkan
dalam hubungannya dengan perubahan sifat tuntunan terhadapnya sebagai akibat
perubahan struktur ekonomi.
Secara keseluruhan kelebihan artikel ini telah mampu menjelaskan secara
terperinci runtutan sejarah dan sekaligus mengupas teori-teori kapitalisme yang
menjanjikan suatu diskursus tentang kapitalisme dalam aspek yang luas. Gagasan-gagasan
brilian Robison disokong oleh penelitian empiris yang begitu rinci sehingga
para pembaca mendapatkan data tentang seluk-beluk rezim Soeharto yang agak
sulit didapatkan karena begitu ketatnya sensor terhadap informasi.
Melalui buku ini, kita sadar untuk membongkar dan menemukan titik terang
tentang sisi gelap kapitalisme di Indonesia. Soeharto sudah memulai semuanya
dengan perkasa, tanpa ada satu pun pihak yang bisa menghalanginya.
Dan Prof. Robison sudah menyumbangkan pemikiran briliannya untuk kita,
bangsa yang masih tersandera di tangah pusaran liberalisme pasar dan ekonomi
kerakyatan.
Sedangkan
di sisi lain, akan jauh lebih baik jika buku ini juga memuat analisis terhadap
contoh kasus yang dipaparkan, dan lebih
banyak memuat informasi dan fakta empiris yang dapat dipergunakan bagi
praktisi. Informasi-informasi tersebut berupa komparasi kelebihan dan kelemahan
antarmodel pendekatan dan konteks peristiwa yang seperti apa yang cocok untuk masing-masing pendekatan dalam menganalisa kapitalimse di
Indonesia.
Informasi tersebut tentunya sangat berguna bagi pembaca untuk lebih
memahami kompleksitas dalam memahami Kajian Teoritis Kapitalisme Rezim Orde
Baru di Indonesia.
Daftar Pustaka
Bacaan Utama:
Robison,
Richard. Negara dan kapital di bawah Orde
Baru: Kajian Teoritis, dalam Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Depok: Komunitas Bambu, 2012. Hlm. 83-101.
Bacaan Tambahan:
Alagappa, Muthiah (ed.). Political Legitimacy in Southesast Asia. Standford-California (USA): Stanford University Press, 1995.
Anderson, Benedict R.O.G (ed.). Violence and the
State in Suharto’s Indonesia.
Cornell
University, Ithaca, New York (USA):
Southeast
Asia Program Publications, 2001.
Djafar, Zainuddin. Soeharto Mengapa Kekuasaannya Dapat Bertahan Selama 32
Tahun?. FISIP UI Press,
UI-Depok, 2005.
Kunio, Yoshihara.
The Raise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia. Jakarta: LP3ES, 1990.
William, R. Leadership and Culture in Indonesia Politics. Sydney: Allen and Unwin Publisher, 1996.
[1]
Richard
Robison, Negara dan kapital di bawah Orde
Baru: Kajian Teoritis, dalam Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia (Depok: Komunitas
Bambu, 2012), hlm. 83.
[2]
Muthiah Alagappa
(ed.), Political Legitimacy in Southesast
Asia, Stanford University Press, Standford-Califorbia (USA), 1995, hal.
300. dalam Zainuddin Djafar, Soeharto
Mengapa Kekuasaannya Dapat Bertahan Selama 32 Tahun?, FISIP UI Press,
UI-Depok, 2005, hlm. 32.
[3]
Benedict R.O.G
Anderson (ed.), Violence and the State in
Suharto’s Indonesia, Southeast Asia Program Publications, Cornell
University, Ithaca, New York (USA), 2001, hlm. 13 dalam tulisan Soeharto
Mengapa Kekuasaannya Dapat Bertahan Selama 32 Tahun?, FISIP UI Press,
UI-Depok, 2005, hlm. 32.
[4]
R. William Liddle,
Leadership and Culture in Indonesia Politics, Allen and Unwin Publisher,
Sydney, Australia, 1996, hlm. 5.
[7]
Richard Robison, Op. Cit., hlm. 87.
[8]
Richard Robison, Ibid., hlm. 88.
[9]
Ibid., hlm. 89.
[10]
Yoshihara Kunio, The Raise of
Ersatz Capitalism in Southeast Asia (Jakarta:
LP3ES, 1990), hlm. xv.
[11]
Ibid.,
[12]
Richard Robison, Op. Ci.t, hlm. 91.
[13]
Richard Robison, Ibid.,
[14]
Ibid., hlm. 92.
[15]
Ibid., hlm. 94.
[16]
Ibid., hlm. 95-97.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar