Jumat, 20 September 2013

"Apakah Borjuasi Selalu Menghasilkan Demokrasi?"



 oleh Alpiadi Prawiraningrat
Apakah borjuasi selalu melahirkan demokrasi? Kaum borjuis seperti apakah yang mendukung lahirnya demokrasi? Pertanyaan tersebut menjadi pemicu kali ini. Dalam karyanya yang berjudul  The Social Origins of Dictatorship and Democracy, Barrington Moore mencoba mengklasifikasikan pembentukan sistem politik pada suatu negara sangat dipengaruhi oleh kekuatan kaum borjuis sebagai aktor politik yang memegang peran yang sangat besar. Tesis tersebut didasarkan pada fenomena yang terjadi di beberapa negara seperti, United States, Cina, Inggris, Rusia, Prancis, Jepang dan Jerman.
            Hal menarik dari tesis Moore menunjukan apabila kekuatan borjuis strong maka yang lahir adalah negara dengan sistem politik demokrasi, apabila kekuataan borjuis moderat maka yang lahir adalah negara dengan sistem facisme, sedangkan apabila kekuatan borjuis weak maka sistem politik negara yang lahir adalah komunisme. Namun terdapat kritikan terhadap tesis tersebut, di antaranya berkaitan dengan model borjuasi;  indikator kekuatan dari borjuasi serta ruang lingkup atau cakupan tesis yang dikemukakan Moore tersebut.
            Moore mengungkapkan bahwa kaum borjuis memiliki peranan penting dalam pembentukan sistem politik demokrasi, akan tetapi definisi borjuis sebagai kaum menengah semacam apa yang diungkapkan oleh Moore tidaklah jelas, apakah kaum pengusaha? birokrat?  ataupun versi lainnya, karena perlu dipahami bahwa borjuis sebagai kelas menengah bukanlah suatu entitas tunggal, tapi merupakan entitas majemuk (middle classes) karena terdiri dari berbagai kategori kelompok. Sehingga cukup sulit untuk memahami definisi borjuis sebagai kelas menengah menurut pandangan Moore.
            Kritik tersebut berimplikasi terhadap pertanyaan selanjutnya yaitu indikator yang digunakan oleh Moore dalam mengklasifikasikan kekuatan dari kaum bojuis itu sendiri. Moore mengungkapkan beberapa kategori kekuatan dari kaum borjuis yang  berdampak terhadap pembentukan suatu sistem politik dalam suatu negara, akan tetapi indikator yang digunakan Moore kuranglah jelas, indikator ini saya rasa menjadi suatu hal yang perlu untuk dipahami sebagai salah satu cara melihat kategorisasi dari borjuis sendiri sebagai entitas yang majemuk, sehingga menjadi acuan atau tolak ukur untuk memahami sumber-sumber kekuatan serta dampak yang dihasilkannya.
            Definisi utama dari kaum borjuis serta indikator yang digunakan dalam melihat borjuasi memiliki korelasi dengan sejauh mana cakupan tesis Moore dapat digunakan. Apakah teori ini berlaku untuk daerah-daerah  di bawah struktur negara seperti hal nya daerah di Indonesia yang yang terdiri dari banyak etnis dan bangsa?  Hal ini mengingat karena klasifikasi borjuis sebagai kaum menengah di tingkat lokal dimungkinkan memiliki perbedaan dengan tingkat nasional.
            Kekonsistenan Moore pada tesisnya yang mengungkapkan kelas borjuis sebagai pelopor demokrasi yang ditunjukan dengan trek dari negara-negara maju yang kuat kelas borjuis-nya seperti halnya Amerika Serikat didasarkan karena feodalisme atau tuan tanah tidak disukai oleh kapitalis, karena tidak bebas untuk mengakumulasi kapital dan kapitalis tidak bisa hidup dalam feodalisme, orang feodal masih bisa hidup dalam kaptalisme sebagai contoh  adalah Inggris. Hal tersebut merujuk kepada petanyaan, apakah hanya kaum borjuis yang mampu menciptakan demokrasi dan sistem politik lainnya?
Perlu dipahami bahwa kejatuhan feodalisme dan stabilnya demokrasi merupakan rentang waktu yang lama dan buruhlah yang memiliki pengaruh terhadap pembentukan demokrasi bukan kelas borjuis.  Hal ini didasarkan bahwa pada tahun 1790-an tumbuh demokrasi yang sebagian besar dipengaruhi buruh dan  pada tahun 1970-an lah stabilnya demokrasi baru dirasakan dibuktikan dengan tumbuh kembangnya kesetaraan kulit hitam dan putih serta mulai diakuinya hak pilih perempuan. Buruh menjadi aktor penting dalam  demokrasi karena mereka merupakan kelompok paling berkempentingan dibandingkan dengan kaum menengah atau borjuis.  Dibandingkan dengan kaum borjuis buruh lebih sering ditindas karena upah rendah dan tunjangan yang rendah, sehingga nampaklah bagimana buruh memungkinkan untuk melakukan revolusi sistem politik menuju demokrasi, karena tekanan psikologis yang dimilikinya.  Hal ini didasrkan oleh teori agregat psikologis yang diungkapkan Theda Skocpol dalam tulisanya “State and Social Revolution” yang mana konsep ini menekankan bahwa motivasi yang mendorong individu untuk melibatkan diri dalam kekerasan politik dan gerakan revolusioner.  Begitupun dengan kaum buruh, dorongan akan tekanan psikologis yang dimilikinya menjadi salah satu faktor gerakan revolusioner kaum buruh untuk menuntut suatu perubahan sistem politik, termasuk mengarahkannya kepada demokrasi.  Oleh karena itu, perpektif bahwa borjuis bukanlah satu-satunya aktor yang mendukung pengimplementasian upaya menuju demokasi, kelompok lain termasuk buruhpun dapat ikut berperan tergantung dari situasi dan kondisi dimana hal tersebut terjadi.

Daftar Pustaka

Referensi Utama:
Skocpol, Theda. Social Revolution in The Modern World: A Critical Review of Barrington Moore’s Social Origins of Dictatorship and Democracy.  New York: Cambridge University Press, 1994.  Hlm. 25-54.

Referensi Tambahan:
Moor, Barrington JR.  The Social Origins of Dictatorship and Democracy. http://courses.nus.edu.sg/course/socsja/SPCnotes/Moore.html. Diakses pada 12 September 2013; Pukul 11.16 WIB.
Skocpol, Theda.  States and Social Revolution: A Comperative Analysis of France, Rusia, and China.  New York: Cambridge University Press, 1979.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar