oleh Alpiadi Prawiraningrat
Siapa
yang dimaksud dengan golongan menengah? Bagaimana korelasi antara kapitalisme,
kelas menengah dan negara? Pertannyaan tersebut menjadi pemicu tulisan ini. Dalam
artikelnya yang berjudul Kapitalisme, Kelas Menengah dan Negara:
Sebuah Catatan Penelitian, Farchan Bulkin tidak hanya menjelaskan mengenai socio-historis perkembangan golongan menengah tetapi juga keterkaitanya dengan
kapitalisme dan negara. Mengawali tulisanya, Farchan mengungkapkan bahwa studi
politik Indonesia dihadapkan kepada tantangan untuk mencermikan suatu peta
penjelas dari saling hubungan yang rumit antara struktur sosial dan ekonomi,
ideologi dan negara. Sehingga untuk
mencari pendekatan tersebut, penjelas terhadap saling hubungan yang dinamik
antara negara dan masyarakat sipil dalam struktur masyarakat post-kolonial
dapat digunakan tiga aliran pikiran itu menghasilkan tiga perspektif teoritis.
Tiga
perpektif tersebut, yaitu: Pertama, teori
mengenai negara dalam masyarakat pinggiran, yang mengarahkan analisanya pada
konsekuensi dan implikasi adanya cara produksi kapitalisme pinggiran untuk
memahami watak dan ciri negara, politik dan ideologi; Kedua, Konsep dan model rezim birokratik dan otoriter yang
memusatkan perhatian pada transformasi politik akibat adanya ketegangan sosial
dan politik yang disebabkan oleh proses industrialisasi pada tingkat elit
maupun masyarakat luas; dan Ketiga, Statisme
organik sebagai suatu model pemerintahan yang menangani masalah hubungan antara
negara dan masyarakat dalam hubungannya dengan ideologi yang muncul sebagai
penolakan dua sistem yang ada, kapitalisme dan sosialisme.[1] Tiga
proyek teoritis tersebut telah menangani tiga aspek penting hubungan antara
negara dan masyarakat dalam struktur masyarakat pinggiran.
Lalu siapakah yang
dimaksud dengan golongon menengah? Golongan menengah yang dimaksudkan adalah kelompok sosial
dalam masyarakat yang terdiri dari kaum intelektual, mahasiswa, pemimpin
suratkabar, kaum pengusaha dan pedagang pribumi, ahli hukum dan
kelompok-kelompok.[2]
Kelahiran golongan menengah di Indonesia tidak dapat terlepas dari
kebangkitan kelas menengah di Eropa yang telah memperkenalkan suatu tata
susunan berpikir, masyarakat, ekonomi dan sosial baru yang tidak pernah dikenal
sebelumnya,[3] seperti dilahirkannya negara yang disahkan
sebagai lembaga umum yang pada esensinya mempertahankan kelangsungan mekanisme
kapitalisme, tempat kelas ini berpijak dan memperkuat dirinya.
Menarik
memahami hal tersebut, karena mencoba menunjukan bagaimana pembentukan negara
oleh golongan menengah di Eropa tidak lain adalah sebagai upaya untuk
melindungi kapitalis atau pemilik modal.
Hal ini mendasarkan bahwa pembentukan negara hanyalah diperuntukan
kepada segelintir orang yang menguasai sektor ekonomi. Ungkapan Farchan nampaknya memiliki korelasi
dengan apa yang diungkapkan oleh David Harvey bahwa
neoliberal yang didalamnya terkandung kapitalisme telah menjadi ide yang
memungkinkan pasar bebas untuk mengambil alih peran pemerintah. Akan tetapi, intervensi pemerintah dalam
perekonomian tetap digunakan hanya ketika hal itu akan menguntungkan para elit
ekonomi, di mana intervensi pemerintah buruk jika itu akan melindungi tenaga
kerja atau lingkungan, tetapi intervensi pemerintah baik jika itu akan membantu
elit ekonomi. Keduanya berupaya menunjukan bagaimana negara hanyalah alat yang
digunakan golongan menengah untuk melindungi kepentingannya dalam hal ekonomi.
Sebetulnya
apa yang menyebabkan golongan menenangah begitu penting[4]?
Pertama, kelompok ini baik di
zaman kolonial maupun pasca-kolonial telah menjadi pusat-pusat masyarakat untuk
berperanan dalam kegiatan negara dan dalam mengartikulasikan serta merumuskan
ideologi untuk masyarakat secara keseluruhan. Kedua, kelompok golongan
menengah memiliki wawasan dan kesadaran pada kondisi yang diperlukan untuk
mengejar kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi mereka. Ketiga, golongan menengah adalah
kelompok yang secara cepat dan kelihatan segera, betapa mereka dipengaruhi oleh
kondisikondisi struktur sosial dan ekonomi, yang mendominasi Indonesia baik di
zaman kolonial maupun pasca-kolonial.
Namun,
apakah semudah itu menggunakan negara untuk kepentingan ekonomi golongan
menengah? Terutama dalam konteks Indonesia. Ternyata tidak demikian, menurut
Farhan struktur kapitalisme periferal ternyata telah menghalangi secara keras
usaha golongan menengah untuk memperkuat kedudukan ekonominya. Hal ini dikarenakan bahwa manifestasi
struktur kapitalisme periferal ini adalah ketergantungan pendapatan negara pada
impor dan ekspor dan akan mengalaim dislokasi dan stagnansi jika hubungan
dengan pusat diputuskan.
Hal
tersebut didasarkan pada karakteristik dari Kapitalisme periferal atau
kapitalisme pinggiran sendiri, yaitu:[5] Pertama,
keuntungan yang ditarik dari penggabungan modal, tanah dan buruh tidak
ditanam dalam ekonomi tuan-rumah, melainkan dalam “kapitalisme pusat” di negeri
Belanda; Kedua, lembaga dan
organisasi ekonomi kapitalis yang dipasang dari luar hanya akan berfungsi secara
efektif kalau diintegrasikan ke dalam perekonomian kapitalisme pusat sebagai
sumber modal. Dengan demikian
kapitalisme pinggiran akan selalu menjadi kapitalisme yang tergantung (dependent
capitalism).[6]
Hal
menarik lainnya dari tulisan Farchan adalah bagaimana menunjukan struktur
kapitalisme periferal yang ada di negara dunia ketiga, khususnya di Indonesia
tidak melahirkan kekuatan-kekuatan ekonomi dan kemasyarakatan seperti yang
dikenal di Eropa, tetapi telah memunculkan kekuatan-kekuatan yang
dimanifestasikan oleh kapitalisme negara, kapitalisme imperial (kapitalisme
asing), dan bureaucratic capitalism
dan client capitalism, yang mana
menunjukan bahwa golongan menengah Indonesa tidak mampu atau tidak bisa
memiliki potensi ideologis dan politik seperti halnya kelas menengah di Eropa.[7] Implikasinya adalah lahirnya kelas menengah
yang menjadi informal governance. Contoh yang diungkapkan oleh Farchan ini
dalam konteks Indonesia dapat dilihat pada tulisan
Syarif Hidayat, Pilkada, Money Politics
and The Dangers of Informal Governance Practices yang
menunjukan bagaimana kaitannya dengan ancaman informal governance yang didominasi
golongan menengah di tingkat lokal yang dikenal dengan istilah shadow regims yang memiliki karakter,
aliansi para birokrat, pembisnis, militer dan preman. Sehingga yang terjadi
adalah penguasaan sumber daya oleh pihak-pihak swasta dan alinsi politik
tertentu tanpa memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat karena
lemahnya institusi formal pemerintah.
Mengakhiri
tulisanya, Farchan menyimpulkan bahwa kegagalan yang menimpa golongan menengah
dalam mengejar kepentingan ekonomi mereka dan melaksanakan kepemimpinan di
bidang ekonomi, lebih disebabkan oleh situasi struktur sosial dan ekonomi yang
tidak menguntungkan yang kemudian memberikan kesempatan kepada golongan
menengan masuk ke lapangan politik dan ideologi dan menstransformasikan
kesulitan ekonomi menjadi masalah
politik dan ideologi.
Secara keseluruhan Farchan sudah
mendeskripsikan unsur-unsur penting korelasi antara kapitalisme, golongan menengah dan negara. Nilai lebih dari tulisan ini menjadi stimulan yang menarik bagi pembaca untuk memahami lebih
mendalam mengenai peran kelas menengah dan korelasinya dengan kapitalisme serta
negara. Sedangkan di sisi lain, akan
jauh lebih baik jika tulisan tersebut juga memuat analisis terhadap contoh kasus yang dipaparkan, dan memuat
informasi rinci yang dapat dipergunakan bagi praktisi. Informasi-informasi
tersebut berupa data ataupun komparasi
kelebihan dan kelemahan masing-masing pendekatan dalam memahami golongan menengah
dalam konteks kapitalisme periferal. Informasi tersebut tentunya sangat berguna
bagi pembaca untuk lebih memahami lebih mendalam mengenai kompleksitas kapitalisme, golongan menengah dan negara.
Daftar
Pustaka
Bulkin, Farhan. Kapitalisme,
Golongan Menengah dan Negara: Sebuah
Catatan Penelitian. Dimuat dalam Prisma, no. 2, Feburari, 1984.
Bulkin, Farchan Pokok-Pokok Pikiran Kelas Menengah:
Makalah untuk PAIS (Percakapan Ahli Ilmu-Ilmu Sosial), 3-4 Oktober 1984.
Harvey, David. The Brief History of Neo-liberalism. New York: Oxford University Press, 2005.
Hidayat, Syarif. Pilkada,
Money Politics and The Dangers of Informal Governance Practices, hlm.
125-143.
[1] Lihat Hamzah
Alavi, “The State in Post-Colonial Societies: Pakistan and Bangladesh”, New
Left Review, 74 (July-August, 1972), John S. Saul, “The State in Post Colonial
Societies: Tanzania,” The Socialist Regester (1974) dan “The Unsteady State:
Uganda, Obote and General Amin”, Review of African Political Economy, 5
(January-April, 1976), dan Colin Leys, “The Overdeveloped Post Colonial State:
A Reevaluation”, Review of African Political Economy, 5 (January-April, 1976),
Lihat juga David Collier, ed., The New Authoritarianism in Latin America (New
Jersey: Princeton University Press, 1978); Phillipe Schmitter, “Still the
Century of Corporatism?” dalam Frederick B. Pike and Thomas Stritch, eds., The
New Corporatism: Social-Political Structure in the Iberian World
(NotreDame-London: University of Notre-Dame Press, 1970) dalam Farchan
Bulkin. Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian.
Dimuat dalam Prisma, no. 2, Feburari, 1984. Hlm. 5.
[2] Farchan Bulkin. Ibid., hlm. 7.
[3] Farchan Bulkin. Pokok-Pokok
Pikiran Kelas Menengah: Makalah untuk PAIS (Percakapan Ahli Ilmu-Ilmu
Sosial, 3-4 Oktober 1984), hlm. 1.
[4] Farhan Bulkin. Op.
Cit., hlm. 8.
[5] Farchan Bulkin. Ibid.,
hlm. 15.
[6] Fernando Henrique
Cardoso. Associated-Dependent Development: Theoretical and Practical
Implications dalam Alfred Stepan dalam Authoritarian
Brazil (New Haven and Landon: Yale University Press, 1973) dalam Farchan
Bulkin. Op. Cit., hlm. 15
[7] Farchan Bulkin. Op.
Cit., hlm. 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar