Jumat, 27 Desember 2013

Analisa Kebijakan Penerbangan Langsung (Direct Flight) antara Australia dan Indonesia tahun 2011-2013”



PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
             Secara geografis letak Indonesia sangat dekat dengan Australia. Kedekatan letak geografis kedua negara menjadi salah satu faktor pertimbangan arah kebijakan luar negeri masing-masing negara, khususnya Australia.  Pertimbangan yang didasarkan letak geografis adalah suatu upaya yang dilakukan dalam mencapai kepentingan nasional setiap negara.
            Sejak 1998, sasaran kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia tampaknya ada 4 hal, yaitu:[1] Pertama, menciptakan suatu stabilitas  dan prediktabilitas dalam hubungan kedua Negara; Kedua,  upaya untuk menciptakan dan mempertahankan saluran-saluran dialog terbuka dan terus terang dengan Indonesia, untuk memperkuat saling percaya dan pengertian antara kedua bangsa yang  sangat berbeda sistem politik, hukum, sejarah, bahasa dan budayanya; Ketiga ialah kerja sama dengan Indonesia di arena politik dan  ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan isu-isu regional Asia Tenggara dan Asia Pasifik; Keempat, apa yang disebut oleh Australia sebagai "multi-dimentional approach" atau "broadening the relationship"  jauh dari penekanan hanya kepada masalah politik ke penekanan-penekanan baru pada kerja sama ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan.
Australia memandang Indonesia sebagai sesama "middle power"  (kekuatan menengah) di Asia Tenggara yang bisa diajak untuk menggalang kekuatan dan bekerja sama dalam menjaga serta mempromosikan stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara dan peningkatan ekonomi negaranya. Sebaliknya bagi Indonesia, Australia juga bisa menjadi mitra yang alamiah untuk meningkatkan kemampuan tidak hanya dalam bidang pertahanan tapi juga ekonomi Indonesia.
Sasaran kebijakan luar negeri Australia terhadap Indonesia memiliki korelasi dengan daya tarik yang dimiliki masing-masing negara seperti sumber daya alam penunjuang pariwisata yang ada di Indonesia dan fasilitas pendidikan yang sangat modern yang dimiliki oleh Australia memungkinkan untuk setiap tahun, ratusan bahkan ribuan orang Indonesia datang atau dikirim ke Australia untuk belajar. Sebaliknya, puluhan atau ratusan orang Australia juga datang ke Indonesia untuk pertukaran pelajar atau melakukan penelitian. Ini belum terhitung yang saling berkunjung sebagai wisatawan. Adanya lalu-lintas orang semacam itu sebenarnya bisa memberi kontribusi bagi perbaikan hubungan kedua negara, dengan meningkatkan saling pengertian antara kedua-belah pihak. Indonesia tetap dipandang sebagai mitra politik dan pertahanan yang baik bagi Australia.
Mobilisasi yang terjadi antara masyarakat Australia dan Indonesia tersebut akhirnya menginisiasi kedua negara melakukan kerjasama dalam bidang tranportasi penerbangan sebagai upaya memfasilitasi warga negaranya untuk berpergian ke masing-masing negara.  Salah satu bentuk kerjasama tersebut adalah yang dilakukan Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan dan Menteri Infrastruktur dan Transportasi Australia, Antony Albanese dengan menandatangani Persetujuan Pelayanan Angkutan Udara (Air Service Agreement) Indonesia dan Australia di Gedung Parlemen Australia yang mencakup penunjukan, pemberian izin, pembatalan perusahaan penerbangan, hak angkut, pengakuan sertifikat, penerapan standar keselamatan, keamanan penerbangan, penerapan tarif,  dan kapasitas.[2] Salah satu implementasi dari kerjasama tranportasi udara tersebut adalah direalisasikanya kebijakan penerbangan langsung (direct flight) antara Australia dan Indonesia dengan beberapa kota di Indonesia khusunya Bali dan Lombok, sebagai tempat destinasi utama masyarakat Australia.
Menarik untuk menganalisa implementasi kebijakan tersebut, karena hubungan luar negeri yang terjalin di antara masing-masing negara tidak terlepas dari konteks lokasi geografis yang saling berdekatan.  Kebijakan luar negeri yang didasarkan letak geografis juga tidak dapat dipisahkan dari kepentingan nasional yang dimiliki Indonesia khususnya Australia. Oleh karena itu, berbagai cara dilakukan untuk melindungi bahkan memenuhi kepentingan nasional masing-masing negara, salah satunya adalah melalui diplomasi dan kerjasama sebagai bagian dari sof power untuk mempengaruhi negara lain dalam konteks hubungan luar negeri. Oleh karena itu, makalah ini akan menganalisa Kebijakan Penerbangan Langsung (Direct Flight) antara Australia dan Indonesia tahun 2011-2013 dalam hubungan bilateral di antara kedua negara.

I.     2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut.
Bagaimanakah implementasi kebijakan penerbangan langsung (Direct Flight) antara Australia dan Indonesia dalam konteks kerjasama bilateral  dibidang transportasi udara tahun 2011-2013?”

I.3 Kerangka Teori
Dalam makalah ini digunakan beberapa teori, di antaranya geostrategi, kepentingan nasional dan soft power sebagai pisau analisa dalam membahas implementasi kerjasama direct flight antara Australia dan Indonesia.
Geostrategi merupakan bagian dari geopolitik dan kebijakan luar negeri yang didasarkan pada faktor geografi. Lebih jelasnya, segala kegiatan politik luar negeri dan perencanaan militer dalam geostrategi lebih mengedepankan faktor-faktor geografi. Sama seperti konsep kebijaksanaan luar negeri lainnya, Geostrategi adalah sebuah konsep yang terkait dengan SDA suatu negara (baik secara luas maupun terbatas) dan juga dengan objek geopolitik (baik itu lokal, regional maupun global). Menurut Karl Haushofer geostrategi merupakan strategi dalam memanfaatkan kondisi geografi negara untuk menentukan tujuan serta kebijakan. Geostrategi merupakan pemanfaatan lingkungan untuk mencapai tujuan politik.[3]
Geostrategi juga sangat relevan untuk dipakai disemua hal atau masalah yang membutuhkan pendekatan dari geostrategi, seperti salah satunya adalah kepentingan nasional suatu negara, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hans J. Morgenthau yang menyatakan bahwa geostrategi sebagai strategi diplomasi harus didasarkan pada kepentingan nasional, bukan pada alasan-alasan moral, legal dan ideologi yang dianggapnya utopis bahkan berbahaya.  Kepentingan nasional ini menurut Roy Olton dan Jack C. Plano, untuk mencapai tujuan nasional luar negeri, perlu dipertimbangkan juga kekuatan nasional yang dimiliki. Adapun elemen-elemen dari kepentingan nasional mencakup pertahanan diri (self preservation), kemandirian (independence), integritas teritorial (territorial integrity), keamanan militer, dan kemakmuran ekonomi (economic wellbeing).[4]
Morgentau juga menyatakan bahwa kepentingan setiap negara adalah mengejar kekuasaan (power), yaitu apa saja yang bisa membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini bisa diciptakan melalui teknik-teknik paksaan maupun kerjasama.[5] Pendapat Morgentau mengenai kekuasaan (power) memiliki korelasi dengan pandangan Joseph S. Nye yang menyatakan bahwa kekuasaan (power) merupakan kekuatan atau kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk mendapatkan hasil yang diinginkan[6]. Power ini terbagi  menjadi dua spektrum perilaku yang berbeda, yaitu hard power termasuk dalam spektrum perilaku command power, yang merupakan kemampuan untuk mengubah apa yang pihak lain lakukan (what others do) dan soft power yang termasuk dalam spektrum perilaku co-optive power, yang merupakan kemampuan yang digunakan sehingga dapat mempengaruhi dan membentuk apa yang pihak lain inginkan (what others want)[7]. Co-optive power diperoleh melalui dua cara, yaitu:[8] a) agenda setting, dengan cara memanipulasi agenda pilihan politik sehingga pihak lain gagal mengekspresikan suatu preferensi politik tertentu karena merasa preferensi tersebut terlihat tidak realistis yang bersumber pada institusi; dan b) attraction, didasarkan pada daya tarik yang bersumber pada budaya, nilai-nilai serta kebijakan luar negeri yang dimiliki.
Selanjutnya Soft power dijelaskan Nye sebagai suatu kekuatan atau kemampuan yang digunakan untuk mempengaruhi pihak lain sebagai upaya mendapatkan hasil yang diinginkan (power) melalui penggunaan daya tarik daripada penggunaan kekerasan (coercion) atau imbalan (payment)[9]. Nye memaparkan bahwa soft power suatu negara utamanya berasal dari tiga sumber, yaitu[10]: a) kebudayaan (culture), sehingga membuat negara tersebut menarik bagi pihak lain; b) nilai politik (political values) yang dianut negara tersebut di dalam maupun luar negeri; dan c). kebijakan luar negeri (foreign policies) yang membuat negara memiliki legitimasi dan otoritas moral.
Menurut Nye, kebijakan luar negeri sebagai bagian dari sumber soft power suatu negara tidak dapat dipisahkan dengan aktor-aktor yang terlibat dalam pembentukan soft power itu sendiri yang diistilahkan sebagai “referees” dan “receivers” soft power[11]. “Referees” soft powerdipahami sebagai pihak yang menjadi sumber rujukan legitimasi dan kredibilitas soft power.  Sedangkan “receivers” soft power adalah target yang dituju sebagai sasaran penerima soft power[12].

1.3    Metode Penulisan
Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif yang bertujuan mengambarkan atau melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain).[13] Penelitian kualitatif adalah penelitian yang datanya adalah data-data kualitatif, umumnya dalam bentuk narasi.[14] Menurut Lofland dan Lofland sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah seperti dokumen dan lain-lain.[15]
Adapun dalam penyusunan makalah ini menggunakan studi kasus atau penelitian kasus yang merupakan penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas.[16] Studi kasus dari lokasi penyusunan makalah ini berkaitan dengan implementasi kebijakan penerbangan langsung (direct flight) antara Australia dan Indonesia.
Keterbatasan dari makalah ini ada pada minimnya data dan informan sebagai sumber data primer dalam analisa masalah.  Sehingga kesulurahan data dan informasi yang terdapat dalam makalah ini didasarkan pada sumber sekunder, berupa buku teks, journal, skripsi dan website.

PEMBAHASAN

II.1 Kerjasama Penerbangan Langsung (Direct Flight) Australia Indonesia tahun 2011-2013
Penerbangan Langsung (direct flight) adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan proses mobilisasi indvidu dengan menggunakan transportasi udara atau pesawat dari suatu tempat ke tempat lain dalam lingkup nasional (dalam negeri) maupun internasional (luar negeri).  Penerbangan langsung (direct flight) adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mempermudah mobilisasi masyarakat ke suatu tempat yang dituju, termasuk tempat wisata. 
Pada perjalananya penerbangan langsung (direct flight) ini difasilitasi oleh negara sebagai bagian dari kerjasama bilateral negara.  Implementasinya penerbangan langsung (direct flight) ini tidak dapat terlepas dari kebijakan luar negeri negara-negara tertentu yang didasarkan pada kondisi geografis negara dan keuntungan yang dapat diperolehnya melalui implementasi kebijakan tersebut, khususnya  dalam hal ekonomi sebagai bagian dari kepentingan nasional yang hendak dicapai. 
Letak geografis antara Australia dan Indonesia menjadi juga menjadi pertimbangan kerjasama direct flight antara Australia dan Indonesia.  Dalam hal direct flight ke Lombok misalnya dapat dipahami sebagai implementasi geostrategi Australia yang memanfaatkan kondisi geografi negara untuk menentukan tujuan serta kebijakan politiknya, yaitu memperoleh keuntungan ekonomi. 
"Lombok itu sangat dekat dengan Australia. Kita akan usahakan ada penerbangan langsung dari sana. Dengan dibangunnya Bandara di Lombok maka kami minta agar Australia menambah penerbangan ke Lombok, begitu pula sebaliknya, Australia-Lombok-Australia."[17]
Seperti halnya yang dikemukakan oleh akademisi Australia yang mengungkakan bahwa Australia melihat Indonesia sebagai pasar yang menguntungakn Australia.[18]  Dalam perspektif pemerintah Indonesia terealisasinya kerjasama bilateral ini diharapkan dapat meningkatakan popularitas pariwisata Lombok oleh turis Australia dan berimplikasi terhadap kunjungan wisatawan asal Australia yang mencapai 769 ribu, di mana pada tahun 2011, sampai Juni lalu kunjungan dari Australia sudah mencapai 398 ribu. Dari jumlah itu mayoritas tujuan kunjungannya adalah Bali.[19]
Sementara Martin Ferguson mengungkapkan Lombok merupakan salah satu destinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi setelah Bali. Dibukannya penerbangan langsung dari Australia ke Lombok diharapkan sebagai sarana dalam membawa seni dan budaya ke Australia dan memfasilitasi banyak wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Australia.[20]
Selanjutnya perkembangan kerjasama penerbangan langsung (direct flight) antara Australia dan Indonesia juga berlanjut hingga penandatangaan Persetujuan Pelayanan Angkutan Udara (Air Service Agreement) antra Australia dan Indoneisa di Gedung Parlemen Australia, Canberra, Australia pada bulan februari tahun 2011 silam yang dilaksanakan oleh Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan dan Menteri Infrastruktur dan Transportasi Australia, Antony Albanese.[21]  Selain itu, kedua menteri transportasi juga menandatangi Annex II dari Memorandum of Understanding yaitu Arrangement Between The Minisry of Transportation of the Republic of Indonesia and the Department of Infrastrcture and Transport of Australia on Transport Security Cooperation sebagai landasan hukum dalam pelaksanaan perjanjian hubungan antara kedua negara yang dituangkan dalam perjanjian teknis yang mengatur secara rinci kapasitas hak angkut, frekuensi dan tipe pesawat maskapai penerbangan masing-masing negara.
Lingkup Persetujuan Pelayanan Angkutan Udara (Air Services Agreement/ASA) antara lain mencakup penunjukan, pemberian izin dan pembatalan perusahaan penerbangan, hak angkut, pengakuan sertifikat, penerapan standar keselamatan, keamanan penerbangan, penerapan tarif, kapasitas, peluang melakukan usahakan penerapan hukum persaingan usaha, termasuk penerbangan langung (direct flight) Australia-Indonesia.
Berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) Hubungan Udara Australia dan Indonesia, kedua negara sepakat untuk meningkatkan kapasitas hak angkut tiap jurusan dari/ke Sidney, Melbourne (termasuk Avalon), Brisbane dan Perth. Persetujuan tersebut membebaskan batasan kapasitas, frekuensi dan tipe pesawat dari/ke poin lainnya di Asutralia selain Sidney, Melbourne (termasuk Avalon), Brisbane dan Perth.[22] Persetujuan tersebut juga menyepakati tambahan 2.500 kursi/Minggu pada tiap tujuan Sidney, Melbourne (termasuk Avalon), Brisbane dan Perth. Dengan demikian maskapai penerbangan kedua negara dapat mengangkut sampai 27.500 penumpang setiap minggu untuk tujuan Sydney, Perth, Brisbane dan Melbourne.
Sementara untuk dari dan ke kota lain selain keempat kota tersebut, tidak terdapat pembatasan kapasitas, frekuensi dan tipe pesawat. Guna mendorong penerbangan kargo, Pemerintah Australia dan Indonesia juga membuka peluang bagi perusahaan penerbangan Nasional Indonesia dan perusahaan penerbangan Australia dengan membuka poin Jakarta, Medan, Surabaya, Denpasar, dan Makassar ke semua point di Australia tanpa batasan frekuensi dan kapasitas.
Dalam hubunganya dengan kebijakan penerbangan langsung (direct flight), tidak dapat dipisahkan dari maskapai penerbangan yang terlibat di antara kedua negara, di antaranya adalah Lion Air, Garuda Indonesia, Qantas dan Virgin Australia.[23]  Di mana untuk Lion Air sendiri sudah menyatakan kesanggupannya untuk menerbangi rute Kupang, Indonesia-Darwin, Australia, serta menyanggupi permintaan Nadjib Riphat, Duta Besar RI di Australia untuk menerbangi rute Adelaide-Denpasar.  Saat ini kapasitas angkut yang sudah digunakan Indonesia sebanyak 12.000 kursi dan pihak Australia sudah menggunakan sebanyak 17.100 kursi/minggu. Rute dan maskapai yang menerbangi Indonesia-Australia adalah PT. Garuda Indonesia dengan rute Denpasar-Perth, Denpasar-Sidney, Denpasar-Melbourne, Jakarta-Sidney dan Denpasar-Melbourne.  Sementara di pihak Australia melalui maskapai Qantas menerbangi rute Sidney-Jakarta, Qantas code share dengan Jetstar melayani rute Sidney-Denpasar, Melbourne-Denpasar dan Perth-Denpasar. Selanjutnya maskapai Virgin Australia melayani rute Adelaide-Denpasar.
Jika kita mengkaitakan penjelasan kerjasama direct flight di atas dengan teori kekuasan menurut pandangan Joseph S. Nye pada dasarnya kebijakan direct flight antara Australia dan Indonesia adalah merupakan bagian dari soft power yang dimiliki oleh pemerintah Australia.  Soft power ini digunakan oleh pemerintah Australia sebagai upaya dalam meningkatkan kunjungan dari wisatawan asing khusunya Indonesia agar dapat berkunjung ke Australia dan mengenalkan kebudayan Indoensaia.  Implementasai dari soft power ini pada dasarnya tidak dapat terlepas dari geotstrategi pemerintah Australia yang didasarakan pada letak geografis Australia dan Indonesia yang saling berdekatan dan pandangan Australia yang melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial dalam menarik wisatawan Indonesia menjadi bagian dari pertimbangan implementasi soft power dalam kerjasama bilateral antara Australia dan Indonesia.
Disamping itu, Kerjasma bilateral dalam hal penerbangan langsung (direct flight) antara Australia dan Indonesia sebagai bagian dari kebijakan luar negeri Australia dapat dikatakan sebagai bentuk dari implementasi attraction yang dikemukakan oleh Joseph S. Nye. Selain itu, daya tarik masing-masing negara dalam hal destinasi pariwisata yang dimiliki setiap negara, khususya Asutralia menjadi salah satu landasan yang dapat diasumsikan sebagai pengimplementasian soft power dalam kerjasama bilateral Australia dan Indonesia.   Karena tidak dapat dipungkiri bahwa masing-masing negara memiliki destinasi wisata sebagai daya tarik yang dapat menarik minat wisatawan asing, misalnya Indonesia dengan keindahan alam pantai Bali dan Lomboknya serta Australia dengan kemodernitas-an berbagai fasilitas yang dimilikinya menjadi faktor pendorong wisatawan Indonesia berkunjung ke Australia.
Alasan untuk berlibur merupakan faktor paling tinggi tujuan wisatawan Indonesia datang ke Australia. Dari tahun 2008 hingga tahun 2012, jumlah wisatawan Indonesia yang datang untuk berlibur di Australia semakin meningkat. Para pengunjung dari Indonesia yang datang untuk berlibur di Australia menjadi segmen pasar terbesar Australia, sehingga semakin menjaga konsistensi Australia untuk terus mengarah kepada Indonesia sebagai pasar utama bagi pariwisata Australia.
Sedangkan jika dikaitakan dengan aktor-aktor yag terlibat dalam implementasi soft power ini Menurut Nye. Referess dalam kasus ini terlihat tidak hanya pemerintah Australia saja, tapi juga pemerintah Indonesia yang ikut memfasilitasi pengimplementasian kebijakan direct fight antara Australia dan Indoneisa.  Sedangkan dalam receivers dapat dipahami sebagai pemerintah dan masyarakat Indonesia, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa selain dari tujuan peningkatan kerjasama bilarteral di antara kedua negara tujuan dari direct flight ini adalah membuka kesmpatan untuk meningkatkan pendapatan ekonomi Australia.

II.2 Manfaat Kerjasama Penerbangan Langsung (Direct Flight) Australia dan Indonesia tahun 2011-2013
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa dalam kebijakan luar negeri yang didasarkan letak geografis tidak dapat dipisahkan dari kepentingan nasional yang dimiliki negara-negara yang terlibat, termasuk dalam kasus ini adalah kepentingan nasional Australia. Salah satu kepentingan nasional itu adalah kepentingan ekonomi. Oleh karena itu, berbagai cara dilakukan untuk melindungi bahkan memenuhi kepentingan nasional masing-masing negara, salah satunya adalah melalui diplomasi dan kerjasama sebagai bagian dari soft power guna mempengaruhi negara lain dalam konteks hubungan luar negeri. Adanya kebijakan direct flight ini tentu tidak dapat dilepaskan dari kepentingan nasional salah satunya yaitu kepentingan ekonomi yang didiukung dengan memberikan dampak pada berbagai sektor, khususnya pariwisata, sebagai contoh adalah berkaitan dengan jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia dan wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Australia.
Jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Australia mengalami kenaikan yang signifikan. Semenjak diimplementasikanya kebijakan direct flight pada tahun 2011 ke beberapa wilayah Australia jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Australia mencapai 140.000 orang wisatawan. Sebagai suatu upaya peningkatan kembali jumlah wisatawan yang pernah mengalami penurunan jumlah di antara tahun 1996 dan tahun 2000 dialami Australia karena pasca terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan wilayah Asia lainnya, hal ini tentu berdampak pada penurunan jumlah wisatawan. Namun antara tahun 2002 hingga 2012, ada kenaikan sebesar 5 persen. Pasca tahun 2008, jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Australia mengalami kenaikan signifikan, hal ini dikarenakan adanya peningkatan kapasitas penerbangan dan adanya pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia.
Sedangkan dalam hal dampaknya terhadap daerah yang menjadi subjek dari kebijakan direct flight ini sepert Bali misalnya, keuntungan yang dapat diperoleh dapat dilihat melalui tabel di atas bahwa semenjak dioptimalkanya kebijakan direct flight ini terjadi peningkatan jumlah wisatawan dari tahun sebelumnya.  Tahun 2011 jumlah wisatawan Australia yang berkunjung ke Bali sebanyak 788.664 orang dan mengalami peningkatan hanya di tahun 2012 sebanyak 799.897 orang. Hal ini tentu merupakan jumlah yang besar dan tentu semakin nyata bahwa Bali merupakan destinasi utama wisatawan Australia. Membandingkan dengan tabel sebelumnya, bahwa wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Australia pada tahun 2012 hanya sebanyak 141.000 orang. Hal ini tentu berbanding jauh dengan jumlah wisatawan Australia, yang hanya ke Bali saja, berjumlah 799.897 orang.
Selain dari jumlah wisatawan, implementasi kebijakan ini di sisi lain diharapkan dapat meningkatkan kapasitas penerbangan negara Australia yang jauh tertinggal dengan Garuda Indonesia yang juga merupakan salah satu faktor terpenting bagi industri pariwisata. Semakin banyak kapasitas penerbangan yang tersedia, tentu akan berimplikasi terhadap meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan.
Di sisi lain kebijakan direct flight ini tidak hanya menekankan tujuan pada upaya Australia dalam ketertarikanya terhadap seni dan budaya ke Australia dan memfasilitasi banyak wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Australia sebagaimana diungkapkan oleh Martin Ferguson[24] tapi sebagai upaya dalam meningkatkan kapasitas penerbangan beberapa maskapai yang dimiliki oleh Australia yang tertinggal jauh dengan maskapai Garuda yang dimiliki Indonesia. Sebagaimana diagram di atas menunjukan bahwa kapasitas penerbangan Garuda Indonesia mencapai 45% dibandingkan dengan Qantas yang hanya mencapai 14%. 
Australia tentu berkompetisi dengan negara-negara lain untuk menguasai pasar Indonesia sebagai negara tetangganya. Indonesia merupakan target pasar yang nyata, yang diincar oleh Australia. Seperti halnya yang dikemukakan oleh akademisi Australia yang mengungkakan bahwa Australia melihat Indonesia sebagai pasar yang menguntungakn Australia.[25] 
Indonesia sebagai pasar potensial dalam mengkonsumsi pariwisata Australia tidak terlepas dari data yang menunjukan bahwa Australia berada di urutan ke-5 (lima) sebagai perferensi tujuan wisatawan Indonesia.  Sehingga diharapkan bahwa banyaknya wisatawan  Indonesia yang berkunjung ke Australia dapat meningkatkan pendapatan negara Australia.
Di samping itu, selain kepentingan ekonomi Australia-pun mendukung percepatan pariwisata Kawasan Timur Indonesia (KTI) sebagai upaya menjaga keamanan negaranya.[26]  Tujuan bantuan Australia adalah pengurangan kemiskinan dengan bantuan yang melalui dua aliran: a) memperbaiki Pemerintahan termasuk administrasi pemerintah, lembaga perbankan, keuangan dan keadilan; b) pengembangan sumber daya manusia masyarakat yang miskin dengan memperbaiki pendidikan; c) kesehatan, khususnya ibu dan anak serta pengendalian HIV/AIDS; dan penyediaan air minum. Banyak sumbangan Australia yang diarahkan ke Indonesia bagian timur, terutama ke Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya sebab daerah-daerah ini merupakan daerah yang paling miskin dan paling ketinggalan di Indonesia. Kebanyakan bantuan Australia berbentuk program pendidikan dan pelatihan.[27] Sebagai contoh dari bantuan Australia terhadap kawasan Timur Indonesia ini adalah berita yang menginformasikan, bahwa:
“The West Nusa Tenggara (NTB) provincial administration has received grants from the Australian government worth A$12.2 million (US$11 million) for the improvement and upkeep of road infrastructure in the province, through the Provincial Road Improvement and Maintenance (PRIM) program for the 2013-2015 period.”[28]
“Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) telah menerima hibah dari pemerintah Australia senilai A$ 12.200.000 (US$ 11 juta) untuk perbaikan dan pemeliharaan infrastruktur jalan di provinsi tersebut, melalui program untuk Perbaikan Jalan Provinsi dan Pemeliharaan ( PRIM ) periode 2013-2015.”
Hal ini mengingat letak geografis kawasan timur Indonesia yang sangat dekat dengan Australia. Kedekatan secara geografis dan populasi yang besar menjadi penilaian tersendiri yang teramat penting bagi Asutralia,[29] karena secara geografis sektor utara Australia yang bedekatan dengan wilayah Timur Indonesia dianggap paling rawan terhadap ancaman militer langsung, hal ini didasarkan pada pengalaman selama Perang Dunia II ketika Jepang menggunakan Indonesia dan Papua New Guinea (PNG) untuk melancarkan serangan ke daratan Australia. Atas dasar inilah  Kepulauan Indonesia Timur menjadi prioritas utama karena mampu bertindak sebagai perisai bagi pertahanan terutama ancaman dari sektor Utara Australia.   Selain itu dikhawatirkan jika terjadi konflik di Indonesia, khususnya Indonesia Timur dapat mengancam keamanan tidak hanya Australia, tapi juga Singapura, Malaysia dan Papua New Guinea (PNG) sebagai negara yang letak geografisnya berdekatan.[30]
Sehingga berdasarkan pemaparan manfaat kerjasamana direct flight antara Australia dan Indonesia di atas nampaknya terdapat agenda setting yang dirancang Asutralia sebagai upya meningkatkan perekonomian negaranya.   Asumsi itu muncul karena didasarkan pada fakta yang menunjukan bahwa dibangunya kerjasamana direct flight antara Australia dan Indonesia tidak hanya didasrkan pada upaya peningkatan kerjasama bilateral di antara kedua negara yang didasarkan pada pertimbangan letak geografis dan ketertarikan akan seni dan budaya Indonesia. Tapi lebih mendalam, disepakatinya kebijakan ini adalah sebagai upaya Australia dalam memaksimalkan potensi Indonesia sebagai pasarnya. Dan sebagai upaya dalam meningkatkan kapasitas penerbangan maskapai Australia yang tertinggal oleh Indonesia. Di sisi lain, dukungan Australia terhadap percepatan pembangunan Indonesia Timur, sebagai upaya menjaga keamanan perbatasan Asutralia dengan Indonesia Timur.


BAB III
KESIMPULAN


Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kerjasama bilateral antara Australia dan Indonesia dalam bidang tranportasi udara yaitu direct flights antara Australia dan Indonesia merupakan suatu bentuk implementasi soft power dalam hubungan luar negeri Australia dan Indonesia.  Soft power dapat dilihat dari cara Australia melakukan kerjasama diplomasi dengan Indonesia sebagai upaya mencapai kepentingan nasional negaranya terutama dalam bidang ekonomi.  Implementasi soft power dalam kerjasma bilateral antara Australia dan Indonesia juga tidak dapat terlepas dari geostrategis yang merupakan pertimbangan kebijakan luar negeri yang didasarkan letak geografis kedua negara yang beredekatan.  Letak geografis ini menjadi pertimbangan disepakatinya kerjasama direct flight, karena Australia melihat Indonesia sebagai pasar yang potensiala dalam mendukung peningkatan perekonomian Australia.  Lebih dalam, sebetulnya menarik melihat implementasi kebijakan direct flight antara Australia dan dan Indonesia ternyata tidak hanya didasrakan pada upaya menjaga hubungan kerjasama di antara kedua negara, akan teteapi sebgai bagian dri agenda setting Australia dalam upayanya eningkatkan kunjungan wisatawan Indonesia ke Australia dan sebagai usaha untuk meningkatkan kapasitas penerbangan maskapai negara Asutralia yang jauh tertinggal dengan maskapai Indonesia sebagai salah satu faktor terpenting bagi industri pengembangan industri pariwisata di masing-masing negara. Selain itu, dukungan Australia terhadap percepatan pembangunan Indonesia Timur, sebagai upaya menjaga keamanan perbatasan Asutralia dengan Indonesia Timur



















Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Kountur, Ronny Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: PPM, 2003.
Mas’oed, Mohtar. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES, 1990.
Moleong, Lexy J.. Metodelogi Penelitian Kualitatif.  Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Nasir, Moh.. Metode Penelitian.  Jakarta: Galia Indonesia, 1998.
Nasution, Dahlan. Konsep Politik Internasional.  Jakarta: Bina Cinta,  1983.
Nye, J.S.  ‘Public Diplomacy and Soft Power’, THE ANNALS of the American Academy of Political and Social Science; 616;94-109, 2008.
Plano, Jack C and Roy Olton. The International Dictionary.  New York: Wentern Michigan University, 1973.

Sumber Artikel
Dibb, Paul and Richard Brabi. Indonesia In Australian Defence Planning. Security Challenges, Vol 3, no.4, November 2007.
Dibb, Paul. Indonesia: The Key of South-East Asia’s Security.  Editorial, Sydney Morning Herald, 29 May 2001. Hlm. 829-842.
Nye, J.S. Soft Power and Higher Education’, Forum for the Future of Higher Education, 2005 diunduh dari http://www.educause.edu/Resources/SoftPowerandHigherEducation/158676,  Senin, 18 November 2013; Pukul 07.41 WIB.

Sumber Tabel
Indonesia Market Profile 2013 dalam http://www.tourism.australia.com/documents/Markets/MP-2013_INDO-Web.pdf diakses pada Sabtu, 30 Desember 2013; Pukul 14.54 WIB.
Australian Bureau of Statistics, Overseas Arrivals & Departures http://www.abs.gov.au/ausstats/abs@.nsf/mf/3401.0/ diakses pada Sabtu, 30 Desember 2013; Pukul 14.53 WIB.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali  dalam http://bali.bps.go.id/index.php?reg=par_full diakses pada Jumat, 29 November 2013; Pukul 03.56 WIB.

Sumber Website:
Nn. NTB gets grants for roads
from Oz. http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/09/ntb-gets-grants-roads-oz.html diakses pada Senin, 9 Desember 2013; Pukul 09.53 WIB.
Nn. Indonesia-Australia Sepakat Kerjasama Pelayanan Angkutan Udara http://beritatrans.com/2013/02/07/indonesia-australia-sepakat-kerjasama-pelayanan-angkutan-udara/ diakses pada Selasa, 26 November 2013; Pukul 20.16 WIB.
Nn. http://www.google.com/Malkian Elvani/ Geostrategi/ Diakses Selasa, 5 November 2013; Pukul 19.33 WIB.
Nn. PENERBANGAN: RI-Australia teken kerja sama pelayanan angkutan udara dalam http://industri.bisnis.com/read/20130207/98/135357/penerbangan-ri-australia-teken-kerja-sama-pelayanan-angkutan-udara diakses pada Kamis, 28 November 2013; Pukul 23.24 WIB.
Nn. RI-Austrtalia teken Air Service Agreement dalam http://whatindonews.com/id/post/668 diakses pada Senin, 25 November 2013; Pukul 23.26 WIB.
Nn. Australia Sepakat Dongkrak Kunjungan Wisman http://www.suarapembaruan.com/home/indonesia-australia-sepakat-dongkrak-kunjungan-wisman/9806 diakses pada Selasa, 26 November 2013; Pukul 00.42 WIB.
Nn. RI-Australia Teken Kejasama Angkutan Udara dalam http://www.indii.co.id/upload_file/201302130905220.RI%20Australia%20Teken%20Kerja%20Sama%20Angkutan%20Udara.pdf diakses pada Jumat, 29 November 2013; Pukul 23.29 WIB.
www.dfat.gov.au/aii/publications/bab11/index.html diakses pada Sabtu, 29 November 2013; Pukul 20.00 WIB.
http://www.google.com/www.suarapembaruan.com/ Geostrategi dari Globalisasi/(2007)/Daoed Joesoef/ Diakses pada Selasa, 5 November 2013; Pukul 19.34 WIB.







[1] www.dfat.gov.au/aii/publications/bab11/index.html diakses pada Sabtu, 29 November 2013; Pukul 20.00 WIB.

[2] Nn. Indonesia-Australia Sepakat Kerjasama Pelayanan Angkutan Udara http://beritatrans.com/2013/02/07/indonesia-australia-sepakat-kerjasama-pelayanan-angkutan-udara/ diakses pada Selasa, 26 November 2013; Pukul 20.16 WIB.

[3] http://www.google.com/Malkian Elvani/ Geostrategi/ Diakses Selasa, 5 November 2013; Pukul 19.33 WIB.
[4] Jack C Plano and Roy Olton. The International Dictionary (New York: Wentern Michigan University, 1973), hlm. 217.
[5] Mohtar Mas’oed. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 140.
[6] Nye, J.S. (2008), ‘Public Diplomacy and Soft Power’, THE ANNALS of the American Academy of Political and Social Science; 616;94-109, hlm. 94.
[7] Nye, J.S. (2005), ‘Soft Power and Higher Education’, Forum for the Future of Higher Education, diunduh dari http://www.educause.edu/Resources/SoftPowerandHigherEducation/158676,  Senin, 18 November 2013; Pukul 07.41 WIB.
[8] Ibid.,
[9] Nye, J.S. (2008), Op. Cit.,
[10] Ibid., hlm. 96
[11] Merupakan pengistilahan yang digunakan dalam tulisan Joseph S. Nye, Ibid.,
[12] Ibid., hlm. 107.
[13] Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 8
[14] Ronny Kountur. Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis (Jakarta: PPM, 2003), hlm. 16.
[15] Lexy J. Moleong. Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 112.
[16] Moh. Nasir. Metode Penelitian (Jakarta: Galia Indonesia, 1998), hlm. 51.

[17]Nn. RI-Austrtalia teken Air Service Agreement dalam http://whatindonews.com/id/post/668 diakses pada Senin, 25 November 2013; Pukul 23.26 WIB.

[18] Mr. Kevin Evans selaku akademisi asal Australia dan pendiri serta pengelola situs pemiluasia.com dalam kelas politik di Australia pada kamis, 21 November 2013.
[19] Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik Ibid.,
[20]  Nn. RI-Austrtalia teken Air Service Agreement. Loc. Cit.,
[21]Nn. RI-Australia Teken Kejasama Angkutan Udara dalam http://www.indii.co.id/upload_file/201302130905220.RI%20Australia%20Teken%20Kerja%20Sama%20Angkutan%20Udara.pdf diakses pada Jumat, 29 November 2013; Pukul 23.29 WIB.
[22] Ibid.,
[24]  Nn. RI-Austrtalia teken Air Service Agreement dalam http://whatindonews.com/id/post/668 diakses pada Senin, 25 November 2013; Pukul 23.26 WIB.
[25] Mr. Kevin Evans selaku akademisi asal Australia dan pendiri serta pengelola situs pemiluasia.com dalam kelas politik di Australia pada kamis, 21 November 2013.

[26]Nn. PENERBANGAN: RI-Australia teken kerja sama pelayanan angkutan udara dalam http://industri.bisnis.com/read/20130207/98/135357/penerbangan-ri-australia-teken-kerja-sama-pelayanan-angkutan-udara diakses pada Kamis, 28 November 2013; Pukul 23.24 WIB.

[27] http://www.dfat.gov.au/aii/publications/bab11/index.html diakses pada Rabu, 4 Desember 2013; Pukul 13.49.

[28] Nn. NTB gets grants for roads
from Oz. http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/09/ntb-gets-grants-roads-oz.html diakses pada Senin, 9 Desember 2013; Pukul 09.53 WIB.

[29] Paul Dibb and Richard Brabi. Indonesia In Australian Defence Planning. Security Challenges, Vol 3, no.4, November 2007, pp. 71.
[30] Paul Dibb. Indonesia: The Key of South-East Asia’s Security.  Editorial, Sydney Morning Herald, 29 May 2001. Hlm. 837.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar