Oleh Alpiadi Prawiraningrat
Berbicara
mengenai politik identitas dan kewarganegaraan selalu memiliki keterkaitan
dengan dua orang akademisi yang memiliki concern
terhadap tema tersebut, yaitu Manuel
Castells dan Amartya Sen.
Manuel
Castells menyebutkan bahwa identitas (identity)
dapat dipahami dalam tiga kategori utama, yaitu legitimate identity; resistance identity; dan project identity. Legitimate
identity secara sederhana dapat dipahami sebagai identitas yang sudah absah
secara legitimasi dan diakui secara internasional. Sebagai contoh adalah Kartu
Tanda Penduduk (KTP), Passport, Kewarganegaraan, agama dan etnik.
Dalam
konteks kewarganegaraan sendiri sebagai legitimate
identity sebagai mana diungkapkan oleh Prof. Burhan Djabir Magenda, MA. Phd
selaku dosen politik identitas dan kewarganegaraan bahwa dapat ditemui berbagai
persoalan, di antaranya adalah state-less
atau tidak memiliki kewarganegaraan seperti fenomena yang terjadi di Indonesia
sekitar tahun 1966-1970-an ketika sekitar kurang lebih 400.000 orang yang
mayoritas etnis Tionghoa “diputihkan” statusnya menjadi Warga Negara Indonesia
(WNI). Persoalan lain tentang kewarganegaraan yaitu tentang dwi-kewarganegaraan,
karena pernikahan kedua orang tua yang berbeda negara. Berdasarkan hukum Indonesia hanya bisa dilakukan samai
umur 18 tahun, setelah itu individu yang memilki dwi-kewarganegaraan tersebut
harus segera menentukan atau memilih status kewarganegaraannya.
Dalam
konteks etnik-pun jarang sekali negara yang berdasarkan pada etnik sebagai
suatu identitas karena mayoritas negara di dunia berdasarkan pada lebih dari
satu etnik atau juga multi etnik, kecuali negara Israel. Akan tetapi negara
Israel-pun mengalami persoalan yang mana seperempat jumlah penduduk Israel
terbagi menjadi dua yaitu murni etnik Yahudi dan percampuran dengan Arab.
Masih
berkaitan dengan kewarganegaraan, perlu juga dibedakan antara warga negara
sebagai individu atau kelompok yang menetap pada suatu negara tertentu dengan residents sebagai individu atau kelompok
masyarakat yang hanya menetap sementara untuk urusan tertenu seperti urusan
bisnis, sosial dan politik. Residents ini juga dapat dipahami
menjadi temporary residents yang menetap sementara kemudian kembali ke negaranya
seperti para wisatawan dan permanent
residents yang menetap cukup lama seperti para pelajar Indonesia yang
berkuliah di negara asing. Dalam konteks Amerika Serikat misalnya memberikan
kesempatan 5-10 tahun untuk kemudian setelah itu dapat dipertimbangkan menjadi
warga negara Amerika Serikat. Residents ini biasanya kemudian memperoleh
Social Security Number (SSN) sebagai
bentuk jaminan sosial dan implementasi dari sebuah negara kesejahteraan atau welfare state.
Selanjutya
adalah resistance identity yang
dipahami sebagai identitas yang diperjuangkan yang semula tidak diakui dan
akhirnya menjadi suatu hal yang diupayakan ke absahannya. Sebagai contoh adalah
kuota 30% keterwakilan perempuan di partai politik dan lembaga legislatif,
daerah tertinggal dan daerah perbatasan.
Sedangkan
project identity, adalah suatu
identitas yang di proyeksiakan ke arah legitimate identity. Sebagai contoh adalah perjuangan identitas
seperti pernikahan sesama jenis, seprti LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Trans
Gender).
Lalu
bagaimana dengan Amartya Sen, dalam pandanganya bahwa seseorang itu tidak
memiliki identitas tunggal atau single
identity, karena mereka memiliki multiple
identity dalam dirinya. Sebagai
contoh adalah seoarang mahasiswa dapat memiliki berbagai identitas, sebagai
laki-laki atau perempuan, etnik terntenu, agama tertentu, status yang berbeda
dalam keluarga sebagai anak, adik atau kakak dan sebagainya.
Amartya
Sen juga mengungkapkan, kenapa identitas tersebut menjerumus ke arah violance.
Salah satu alasan adalah karena kebanggaan terhadap fundamentalisme
idententitas yang ekstrim, seperti halnya terhadap ideologi yang
dipertahakannya dan bertentangan dengan masyarakat yang majemuk, sehingga tidak
pelak menimbulkan permasalahan atau kejahatan. Sepeti hal-nya perilaku atau
tindakan terorisme.
Dua
pemaparan singkat tokoh di atas mengenai idenitas tampkanya dapat menjadi dasar
atau landasan dalam memhamai identitas. Sehingga dalam pembahasan mengenai
politik identitas dan kewarganegaraan nanti tidak menimbulkan persoalan dan
mempermudah pemahaman. Hal tersebut
karena, pemahaman dasar tentang konsep atau teori pada suatu hal dapat menjadi
acuan tentang pemahaman yang lebih luas tentang isu tersebut nantinya. Melalui
tesis dua tokoh tersebut telah memberikan sumbangsih dalam khasanah pemahaman
dasar tentang politik identitas dan kewarganegaraan sebelum memasuki persoalan
yang lebih kompleks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar