oleh Alpiadi Prawiraningrat
Secara
keseluruhan, tulisan Vedi Hadiz yang berjudul Theoretical and Comparative Considerations: Labour and the Politics of
Industrialisation menjelaskan tentang perbedaan model akomodasi antra negara (state), pemilik modal (capital)
dan buruh (labour) berdasarkan
pengalaman perkembangan industrialisasi. Yang secara keseluruhan, rangkuman
pada tulisan tersebut tertera pada tabel berikut:
Tabel
I.1[1]
Historical Models of Accommodation
between State, capital and Labor
Model of
Accommodation
|
Social
Democratic
|
Populis
|
Exclusionary
|
Historical
Emergence
|
I.Britain; II.
Later European Industrialisers
|
Late-late
Latin American industrialisers
|
I.
Very late industrialisers of East Asia; and of,
II. Southeast Asia
|
Associated
Social and Political Framework
|
Liberal
Democracies
|
Inclusionary
Corporatism
|
Usually
Exclusionary Corporatism
|
Environment
|
I.
Laissez-faire state; independent bourgeoisie, and;
II. More authoritarian and directing sates and weaker bourdeoisie.
|
Weak
or consolodating state usually linked to landed oligarchies, but with
directing role; weaker bourgeoisie, also often linked to landed oligarchies
|
Strong
states insulated from class forces and with directing role; initially weak
bourgeoisie.
|
Characteristics
of Accommodation
|
Strong,
independent trade union movement with representational and some
mobilisational roles, but largely confined to economic realm; welfare state
|
Relatively
strong trade union movement, medium to high level of subordination to state;
representational-and mobilisational roles; politicised; improving welfare
primarly for urban. Higher-skilled wprkers
|
Very
high level of trade union subordination to state; demobilisation and control
of organised labour; labour movement confined to economic realm; exploitation
of cheap labour; in original NICs, subsequent improvement of welfare levels
of industrial workers
|
Major
Sources of Contradiction
|
Fiscal
crisis of the state; dismantiling of welfare state; peripheralisation of
trade unions; higher unemployment levels; flexible production system; capital
mobility
|
Initial
industrial deepening increasing state repressive tendency versus strong
tradition of labour militancy
|
Working
class maturation; in some cases, emerging independent workers movement versus
state repression, surplus labour market, capital mobility, and some flexible
production system
|
Berdasarkan pemaparan di atas,
dapat dipahami bahwa dalam konteks kasus di Indonesia sebagai negara di kawasan
Asia Tenggara dapat dikatakan bahwa perkembangan industri sangat
terlambat.
Begitupun peran dari asosiasi atau serikat buruh yang biasanya
subordinasi negara. Serta dalam hal ini demobilisasi
dan kontrol buruh yang terorganisir,
gerakan buruh terbatas pada bidang ekonomi, eksploitasi
tenaga kerja dan salah satu aspek yang menjadi perjuangan
serikat buruh adalah perbaikan tingkat kesejahteraan
pekerja industri.
Serta alam beberapa kasus, muncul
gerakan buruh independen
terhadap represi negara, pasar tenaga kerja surplus, mobilitas modal, dan beberapa sistem produksi yang fleksibel.
Hal tersebut berbeda dengan negara
maju seperti Inggris dan negara-negara eropa di mana pemerintahan yang kuat,
berimplikasi terhadap gerakan serikat buruh yang independen dengan representasional
dan beberapa peran mobilisational. Dan tujuan gerakan sebagian
besar terbatas pada bidang ekonomi
dan upaya mencapai kesejahteraan pekerja.
Begitupun dengan negara di Amerika
Latin, yang dapat dikatakan sebagai negara perkembangan industri akhir, yang
bercirikan Korporatisme inklusi lemah atau konsolidasi negara
biasanya terkait dengan oligarki
dan peran borjuis yang lemah. Begitupun
dalam konteks gerakan serikat buruh yang
relatif kuat, menengah sampai tingkat tinggi
menjadi subordinasi negara dan memiliki
peran sebagai representasional dan
mobilisational dan kerap kali dipolitisasi. Ciri khas lainnya adalah bahwa pengembangan
sektor industri meningkatkan kecenderungan
represif negara terhadap
tradisi kuat militansi buruh.
Nampaknya, lambatnya perkembangan
industri di negara Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan konteks sejarah
perkembangan politik Indonesia sendiri, terutama pada saat rezim Orde Baru
Soeharto. Sebagaimana dalam tulisan Vedi Hadiz
lainnya yang berjudul “Kapitalisme,
Kekuasaan Oligarkis, dan Negara di Indonesia” dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia
Pasca-Soeharto bahwa walau bagaimanapun, sistem sosial, keamanan, politik bahkan
ekonomi yang berkaitan dengan industrialisasi dan perburuhan yang telah
dikontruksikan oleh rezim orde baru selama lebih dari 30 tahun tidak
benar-benar hilang ketika taransisi demokrasi sudah bergulir, apalagi asumsi
yang muncul bahwa sistem yang telah dibangun lama dengan biaya politik yang
mahal justru akan memberikan dampak terhadap arah perjalanan bangsa Indonesia
di masa datang. Namun perlu kita sadari melalui karya Vedi R. Hadiz menampilkan
bahwa salah satu warisan besar yang ditinggalkan oleh rezim orde baru ketika
Indonesia sudah melangkah ke fase reformasi menuju demokrasi adalah
terpeliharanya sebuah sistem kekuasaan oligarkis yang melindungi para elit, terutama
dari tekanan kelas bawah.[2] Oligarkis sendiri adalah sebuah bentuk
pemerintahan yang kekuatan politikinya berada di tangan sekelompok kecil
(minoritas) anggota masyarakat.[3]
Hal ini mengakibatkan menggambarkan
semacam prematurisasi praktik kenegaraan dan pemerintahan,[4] khususnya
di daerah-daerah pasca bergulirnya wacana desentralisasi. Menurut Vedi Hadiz,
demokrasi baru Indonesia ini rupanya dibangun oleh apa yang disebut dengan kaum
predatoris,[5] yaitu
para pelaku politik lama di tingkat paling dasar dalam simpul oligarki dan
primordial orde baru yang masih resisten dan terbawa arus desentralisasi sampai
ke daerah-daerah. yang dipupuk di bawah sistem patronase orde baru yang luas
telah berhasil menata ulang diri mereka di dalam rezim baru pasca reformasi.
Melalui aliansi-aliansi baru baru mereka secara efektif telah menguasai
institusi demokrasi Indonesia. Ini fenomena bangkitnya politik lokal, yang
selama orde baru terbenam di lapisan terbawah sebuah sistem patronase.
Dalam literatur lain, Hipotesis
Martin S. Lipset yang menjadi salah satu acuan orde baru dalam membangun
fondasi ekonominya mengalami pembusukan dikarenakan keserakahan jalinan
kelompok oligarki yang hidup di masa itu. Ia menilai, negara yang berhasil mencapai
kehidupan demokrasi liberal yang stabil adalah bangsa-bangsa yang sudah
menimati tingkat pertumbuhan tinggi seperti negara-negara Barat.[6] Negara Indonesia di bawah orde baru mencoba mengdopsi
teori tersebut, namun ketika pembangunan ekonomi telah mencapai pada
pertumbuhannya yang tinggi, logika kekuasaan yang sebelumnya tidak dibayangkan
mulai muncul, seperti sebuah ungkapan terkenal oleh Amien Rais bahwa seseorang
yang telah memimpin terlalu lama ia akan mudah mengalami ketumpulan visi, dan
ini dialami oleh Soeharto. Akhirnya demokrasi liberal dan kesejahteraan yang
diidam-idamkan tidak kunjung datang dan implikasi lainnya seperti yang
disinggung di atas, bahwa perkembangan industri sangat
terlambat dan berimplikasi pada peran dari asosiasi atau
serikat buruh yang biasanya subordinasi negara.
Mengakibatkan eksploitasi tenaga kerja, sehingga salah
satu aspek yang menjadi perjuangan serikat buruh adalah perbaikan tingkat
kesejahteraan pekerja.
Daftar Pustaka
Sumber Utama:
Hadiz, Vedi R. Workers and the State in New Order
Indonesia: Theoretical and Comparative Considerations Labour and the Politics
of Industrialisation. New York:
Routledge, 1997.
Sumber Refrensi:
Hadiz,
Vedi R. “Desentarlisasi dan Demokrasi di
Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis”
dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi
Politik Indonesia Pasca-Soeharto.
Jakarta: LP3ES, 2005.
Hadiz,
Vedi R. Kapitalisme, Kekuasaan Oligarkis,
dan Negara di Indonesai dalam Dinamika
Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto/ Jakarta: LP3ES, 2005.
Hadiz,
Vedi R.. Reorganizing Political Power in Indonesia: a Reconsideration of
so-called ‘democratic transitions’, The
Pacific Review, vol. 16 N0. 4, 2003.
Lipson, Leslie. The Democratic
Civilizationn. New York: Oxford
University Press, 1964.
Mas’oed, Mohtar. Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
[1] Vedi Hadiz. Workers and the State in New Order Indonesia: Theoretical and
Comparative Considerations Labour and the Politics of Industrialisation
(New York: Routledge, 1997), hlm. 36.
[2] Vedi
R Hadiz. Kapitalisme, Kekuasaan
Oligarkis, dan Negara di Indonesai dalam Dinamika
Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto (Jakarta: LP3ES, 2005),
hlm. 202.
[3] Leslie Lipson. The Democratic
Civilizationn (New York: Oxford University Press, 1964), hlm. 1.
[4] Vedi
R Hadiz. “Desentarlisasi dan Demokrasi di
Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis”
dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi
Politik Indonesia Pasca-Soeharto (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm. 284.
[5] Vedi
R. Hadiz. Reorganizing Political Power in Indonesia: a Reconsideration of
so-called ‘democratic transitions’, The
Pacific Review, vol. 16 N0. 4 2003, hal. 591
Tidak ada komentar:
Posting Komentar