Tulisan
ini merupakan sebuah kutipan langsung dari artikel berjudul "Abah Udju, Pustakawan Keliling dari Desa Gunung Hejo" [1]
yang mengisahkan perjuangan seorang lelaki tua berusia 63 tahun bernama Djudju
Djunaedi atau lebih dikenal sebagai Abah Udju yang merupakan pustakawan
keliling dengan kisah hidup perjuanganya yang sangat mengispirasi dalam upaya
mencerdaskan kehidupan generasi muda Indonesia, khususnya anak-anak di
kecamatan Darangdan, kabupaten Purwakarta. Berbagai dokumentasi baik gambar
maupun video yang terdapat dalam tulisan ini diperoleh dari berbagai sumber
baik media massa, youtube dan
beberapa blog yang terinspirasi dari perjuangan luar biasa seorang Abah Udju
sang Pustakawan Keliling kebanggan masyarakat Purwakarta. Selamat membaca!
Pustakawan
Keliling Bernama Abah Udju
Dengan
tas gendong usang di punggungnya, seorang lelaki tua berjalan menyusuri Desa
Gunung Hejo, Darangdan, Purwakarta. Di sebuah rumah dia berhenti. Di saat yang
sama, beberapa anak yang sejak tadi bermain menyambut pria tersebut. Seperti
ada yang mereka tunggu. Tas usang tadi kemudian diturunkan ke lantai. Apa isi
tas usang itu? Buku dan majalah! Setelah buku di tata, anak-anak itu memilih
dengan antusias. Begitu buku didapat, anak-anak itu membaca penuh semangat.
Beberapa ibu juga terlihat ikut mengerubutinya.
Lelaki yang membawa
tas usang berisi puluhan buku itu adalah Djudju Djunaedi (63). Tanpa digaji,
tanpa pamrih, tanpa lelah dan tanpa bernaung dalam lembaga tertentu, Djudju
Djunaedi telah mencerdaskan bangsa! Setiap hari, pria bersahaja yang akrab
disapa Abah Udju itu berjalan dari satu desa ke desa lain untuk mencari pembaca
buku-buku koleksinya. Rata-rata dia menjelajahi 6 desa yang kalau dihitung bisa
mencapai 15 hingga 20 km. Jarak itu ditempuh dengan jalan kaki. Untuk menarik
perhatian masyarakat, Abah selalu membawa seruling bambu. Seruling itu akan
dimainkan ketika ada warga membaca. ”Sekalian
mengenalkan budaya Sunda,” ujar Abah. Sudah lebih dari 20 tahun Abah Udju
jadi pustakawan keliling.
Perpustakaan Mini “Saba Desa”
Selain menjadi
perpustakaan keliling, Abah pun membuka perpustakaan mini di rumahnya yang
diberi nama Saba Desa. ”Saba artinya berkunjung dalam bahasa Sunda,” terang
Abah dengan logat Sunda yang kental. Abah mulai rajin mengumpulkan buku dan
majalah sejak sejak tahun 1984. Awalnya buku dan majalah itu milik sendiri dan
juga buku bekas pelajaran anak-anaknya. Perlahan tapi pasti, buku koleksi Saba
Desa main bertambah seiring dengan kegigihan Abah Udju berkeliling desa.
Buku koleksi Abah
Udju sudah cukup banyak dengan berbagai judul. ”Alhamdulillah koleksi buku dan majalah di perpustakaan ini bertambah.
Sebagian ada donatur yang membawakan buku-buku ke sini,” ujar warga Desa Gunung
Hejo RT 10/03, Darangdan, Purwakarta ini. Buku-buku koleksi Abah Udju tertata
di ruang tamu berukuran 2,5 x 2,5 meter. Abah Udju menyebut ruangan itu sebagai
perpustakaan mini. ”Inilah perpustakaan
mini milik Abah yang bisa dipergunakan oleh masyarakat umum,” tutur Abah.
Suka Membaca
Abah mulai merintis
mendirikan perpustakaan sejak tahun 1984. Kebetulan dia suka membaca. Demikian
juga dengan dua putranya, Edi Rahman (33) dan Dede Firman (23). Abah yang saat itu
bekerja di perkebunan coklat tak bisa mengelak dari permintaan putranya.
Apalagi setiap hari putranya meminta dibuatkan gambar. Merasa waktu kerjanya
terganggu, Abah kemudian membeli sebuah majalah anak-anak untuk putranya itu. ”Daripada harus menggambar terus, Abah
belikan majalah anak. Edi sangat senang sekali,” tambah Abah Udju. Setiap
bulan, Abah yang menerima gaji dari perkebunan harus menyisihkan untuk membeli
buku. Lama-lama, majalah yang Abah beli terkumpul banyak.
Selain itu, majalah
yang dibeli Abah sudah tak dipakai lagi, majalah itu dinilai sudah tak menarik
lagi. ”Karena banyaknya majalah, Abah
bingung juga mau diapakan,” terangnya. Tadinya Abah mau membuangnya saja.
Namun setelah dipikir lagi, isi majalah tersebut banyak sekali manfaatnya. Abah
pun berniat menyewakan majalah-majalah tersebut. Niatan tersebut ternyata
disambut baik oleh istrinya, Heni Saenih (49). Selain menambah penghasilan,
juga dapat memberi wawasan bagi masyarakat yang membacanya. Namun, niatan Abah
tak langsung membuahkan hasil. Malah masyarakat di sekitarnya acuh tak acuh
dengan kehadiran Abah yang membawa majalah bekas.
Dimulai tahun 1986
sampai 1988, Abah berusaha mencari pembaca di lingkungan RT dan RW setempat.
Tahun berikutnya, Abah ingin merambah ke desa lainnya. Lagi-lagi Abah berjalan
kaki sambil membawa tas punggung dan beberapa majalah di pelukannya. Sama
seperti di desa Abah, peminatnya ternyata kurang. Sampai suatu ketika, seorang
anak SMA sengaja mencari Abah untuk mencari kliping bencana alam. ”Abah sangat senang sekali. Anak itu ternyata
membuka mata Abah betapa pentingnya informasi,” akunya. Setelah mendapat
bahan untuk klipingnya, si anak pun memberikan uang kepada Abah sebagai
imbalannya.
Namun, Abah menolak
dan memintanya untuk membawa teman-teman mereka untuk membaca majalah yang
dibawa Abah. Ternyata permintaan Abah dipenuhi anak itu dengan membawa
teman-teman mainnya untuk membaca majalah yang bawanya. ”Abah senang sekali saat itu, sampai ibu-ibu juga ikut membaca,”
ujar Abah. Melihat sinyal positif tersebut, Abah kian bersemangat berkeliling
desa, meski harus membagi waktu bekerja. Perlahan apa yang dilakukan Abah Udju
disambut suka cita warga, terutama ibu-ibu dan anak-anak sekolah. Ibu-ibu
biasanya meminjam resep buku atau majalah resep masakan, sedang anak-anak suka
buku atau majalah yang ada ceritanya.
Meski ada catatan
siapa yang meminjam, majalah-majalah koleksi Abah kadang tak kembali dengan
sempurna. Malah ada yang jilidnya terlepas dan halaman dalamnya tak lengkap. ”Kebanyakan mereka mengambil resep. Tapi tak
apa. Yang penting bermanfaat,” akunya. Ternyata resep yang dirobek dari
majalah Abah pun dipraktikkan. Bahkan, Abah mendapat sepotong kue dari
seseorang yang mengaku telah merobek majalahnya. ”Akhirnya ia mengaku juga
kalau merobek majalah Abah. Malah Abah senang bila majalah itu bermanfaat
juga,” tutur Abah Udju.
Dirampok Preman Kampung
Selama berkeliling,
banyak kejadian unik yang dialami Bah Udju. Termasuk saat ia dirampok
sekelompok preman kampung. Ceritanya, suatu sore di tahun 1996. Saat itu
hujan turun, dan dia berteduh di sebuah warung yang di dalamnya ada banyak
pemuda. Beberapa jam kemudian, begitu hujan reda, ia pun memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan. Namun baru saja berjalan sekitar 100 meter dua pemuda
besepeda motor memepet Udju.
“Pak,
minta rokok?!” hardik salah seorang dari pemuda tersebut.
Bah Udju berusaha
tenang. Sambil berkata lembut, ia menyatakan bahwa dirinya tidak merokok. “Kalau begitu, saya minta uang!” kata
pemuda yang satunya lagi dalam nada kasar. Tidak ingin berpanjang mulut, Bah
Udju lalu memberikan uang Rp.5.000 kepada mereka.
“Masa cuma segini?!” Ditanya demikian,
Bah Udju coba menjelaskan bahwa ia hanya punya uang Rp.6.500. Alih-alih merasa
iba, para pemuda itu justru dengan kasar merebut buntalan kain yang dibawa Udju
sambil langsung melarikan sepeda motornya.
Diperlakukan
seperti itu, Bah Udju tidak coba melawan. Ia pasrah. Di tengah sisa asap
knalpot sepeda motor yang meludahi udara sekitarnya, ia hanya bisa berdoa dalam
hati semoga Tuhan melindunginya. “Saya
putuskan untuk pulang saja ke rumah saat itu,” kenangnya.
Setelah sekitar 30
meter berjalan dari tempat kejadian, betapa terkejutnya Bah Udju saat melihat
buntelan yang tadi dirampas para pemuda tersebut ada di pinggir jalan dalam
kondisi isinya sudah berserakan. “Rupanya
mereka membuangnya karena isi buntalan itu bukan barang berharga di mata
mereka, tapi hanya buku dan majalah bekas,” ujar Bah Udju seraya
tersenyum.
Kendati sebagian
buku tersebut basah karena air hujan yang menggenang di jalanan, Udju tetap tak
tega untuk mengacuhkannya. Dengan hati-hati, ia pun memunguti satu persatu
buku-buku yang berserakan itu dan kembali membawanya pulang. “Buku-buku itu ibarat hidup saya, jadi harus
saya rawat sebaik mungkin,” katanya.
Atas
pengorbanannya, tahun 2009 Perpustakaan Nasional memberi Abah penghargaan
sebagai Wahana Belajar Sepanjang Hayat dan juga berbagai penghargaan lainnya. ”Alhamdulillah pemerintah memberikan apresiasi terhadap aktivitas Abah. Semoga
bermanfaat bagi semuanya,” akunya. Selain mengentaskan kebodohan di
lingkungan sekitarnya, Abah juga berhasil mengantar anak-anaknya menempuh
pendidikan tinggi. Edi sudah menyelesaikan kuliahnya di Unpad, Bandung dan
meraih gelar sarjana hukum. Sedangkan Dede tengah menyelesaikan kuliah di
sebuah perguruan tinggi di Bandung.
[1] Tabloid Nyata. Abah Udju, Pustakawan Keliling dari Desa Gunung Hejo dalam http://nyata.co.id/kisah/abah-udju-pustakawan-keliling-dari-desa-gunung-hejo/ diakses pada Jumat, 22 Mei 2015; Pukul 15.29 WIB.
Sumber gambar dan video:
- http://nyata.co.id/wp-content/uploads/2013/02/Profil-Abah-Udju_ft.doni_.-13.jpg
-http://nyata.co.id/wp-content/uploads/2013/02/Profil-Abah-Udju_ft.doni_.warga-tengah-membaca-buku-dan-majalah-abah.-12.jpg
-https://dikabeast.files.wordpress.com/2014/01/img_8613.jpg
-https://dikabeast.files.wordpress.com/2014/01/img_8615.jpg
-https://41.media.tumblr.com/edf403aef2df64df9bf1cfe9b852ba8c/tumblr_nk0d0btNqi1rj6eweo3_500.jpg
-https://36.media.tumblr.com/cf28bec9c89b1f490da0c5cfa56929dd/tumblr_nk0d0btNqi1rj6eweo4_500.jpg
-https://www.youtube.com/watch?v=6uPrY3Sqm8w
Saya baru tahu kalo ada sosok semulia ini di Purwakarta, saya izin share ya kak
BalasHapus