oleh Alpiadi Prawiraningrat
Tulisan ini akan menceritakan tentang
perjalanan melakukan (wisata lokal) local
travelling di desa wisata Pasanggrahan, Bojong, Purwakarta bernama Lambur
Kahuripan kampung Tajur bersama para
mahasiswa tingak akhir yang sedang galau skripsi Devian (Komunikasi, UNPAD
2011) dan Ridho (Teknik Mesin, UI 2011).
Pengalaman yang diperoleh tidak hanya sekedar kesenangan dalam menikmati
keindahan alam, tapi juga refleksi terhadap diri sendiri khususnya rasa syukur
terhadap Ilahi akan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia serta bagaimana
ternyata upaya pengembangan suatu daerah menjadi desa wisata perlu disertai
dengan pengawasan yang berkelanjutan, baik dari pemerintah, swasta maupun
masyarakat setempat. Selamat membaca!
Sekilas tentang Kampung Tajur
Kampung Tajur sudah menjadi tujuan
wisata sejak tahun 1982 dengan wisatawan yang datang awalnya adalah warga
Jakarta. Selanjutnya, setelah melihat potensi yang dimiliki kampung ini, Pemda
Purwakarta lalu meresmikan kampung Tajur sebagai kampung wisata bimbingan
penyuluhan pada 2006. Dikutip dari website resmi Pemda Purwakarta bahwa kampung
Tajur merupakan sebuah daerah yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Purwakarta sebagai tempat wisata berbasis wawasan lingkungan dan
budaya setempat dengan melibatkan peran serta masyarakat yang tinggal di area
tersebut (Ecotourism based on community development).
Bale Warga Kampung Tajur
Tutunggulan Tempat Menumbuk Padi
Leuit yang Seharusnya Tempat Menyimpan Padi tapi Malah Berisi Sampah
Tradisi dan budaya Sunda masih kental
melekat pada masyarakat kampung Tajur. Di antaranya tradisi Ngencleng yaitu suatu kebiasaan yang mana setiap warga meletakkan sebuah
bambu yang berisi beras di depan pintu rumah mereka masing-masing untuk mengantisipasi
bencana kelaparan apabila kampung mereka tertimpa musibah seperti gagal panen
ataupun hasil panen kurang baik. Kemudian kegiatan Tetunggulan atau kegiatan menumbuk padi ini tidak setiap
hari dilakukan, hanya pada acara-acara khusus saja seperti penyambutan tamu,
hajatan/syukuran, peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus).
BABAK 1: Perjalanan Menuju Kampung
Tajur
Gapura Selamat Datang di Kampung Tajur
Untuk
ke kampung Tajur dari Purwakarta mengarah ke Wanayasa. Setelah melewati Situ Wanayasa, terdapat
persimpangan jalan. Jalan mengarah ke kiri tujuan Lembang, Subang dan Sumedang.
Nah, kita ambil jalan lurus mengarah ke Desa Pasanggrahan. Ikuti jalan
tersebut sampai bertemu dengan gapura dan papan petunjuk Madrasah Aliyah. Kemudian
masuk ke jalan tersebut sampai di Desa Pasanggrahan, parkir
kendaraan dapat dilakukan di halaman Kantor Desa. Setelah itu, perjalanan
menuju Kampung Tajur dapat dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai
kendaraan bermotor kurang lebih 3 Km untuk mencapai Kampung Tajur.
Sepanjang
perjalanan dari Purwakarta menuju Desa Pasanggrahan, kita akan disuguhi oleh keindahan
alam mulai dari situ Wanayasa, area pesawahan, perkebunan sayur hingga hutan
rindang di sepanjang jalan. Begitupun dengan akses jalan menuju Desa
Pasanggrahan, dinilai cukup nyaman karena sudah mulus oleh aspal sebagai
implementasi nyata dari program Bupati Purwakarta Kang Dedi Mulyadi yaitu Jalan Leucir.
BABAK II: Bersyukur dari Keindahan
Alam Kampung Tajur
Setibanya
di kampung Tajur, nuansa khas Sunda begitu terasa. Mulai dari asri dan indahnya panorama alam
yang disuguhkan, hingga rumah-rumah penduduk yang khas Sunda yaitu rumah
panggung. Selain itu, lokasi kampung Tajur yang jauh dari pusat kota menjadikan
suasana begitu tentram dan damai. Untuk beberapa detik terpancar dari raut
wajah Adev dan Ridho hilangnya kekhawatiran akan seramnya wajah pembimbing,
rumitnya skripsi yang halamanya tidak pernah move on karena pesona budaya kampung Tajur. Namun demikian,
kebingungan tiba-tiba muncul tatkala kita sendiri ragu hendak dibawa kemana petualangan
jiwa dan ragga ini, karena destinasi pariwisata yang menjadi referensi daya
tarik ke kampung Tajur hanya sebatas curug Panembahan, ditambah makam Eyang
Pandita, Eyang Bongkok dan kasepuhan lainnya yang memang terletak di kampung
tersebut.
Setelah
sejenak bingung dan melaksanakan sholat dzuhur memohon pencerahan pada yang
maha kuasa dan berdiskusi singkat, akhirnya diputuskan untuk melakukan
petualangan dengan tujuan yang dipasarahkan pada alam, artinya biarlah nanti
alam yang menunjukan arah tujuan perjalanan kita. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Agustinus Wibowo dalam bukunya yang berjudul Titik Nol bahwa “Jangan ragu,
lakukakanlah perjalananmu. Karena saat
kau tidak tahu arah mana yang harus ditempuh. Alam akan menuntunmu.”
Sesudah
kawasan pemukiman penduduk kampung Tajur, destinasi pariwisata selanjutnya yang
ditemui adalah curug Panembahan, yang berlokasi sangat dekat dengan rumah warga
di kampung Tajur. Meskipun ketinggian air tidak begitu tinggi, akan tetapi
segarnya air dari pegunungan Burangrang menjadi daya tarik tersendiri. Berdekatan
dengan Curug Panembahan, terdapat makam sesepuh Eyang Pandita yang dipercaya
sebagai sesepuh desa Pasanggrahan.
Keunikan dari makam ini adalah lokasinya yang berada di atas bukit,
sehingga dapat terlihat pemandangan gunung Burangrang, area pesawahan,
perkebunan sayur warga dan kawasan hutan.
Setelah
selesai berziarah ke makam Eyang Pandita dan berfoto-foto dekat curug
Panembahan. Kita-pun kembali melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalan
setapak penduduk menuju gunung Burangrang, tanpa tahu apa yang akan kita
temukan di ujung perjalanan nanti.
Terpikir untuk balik kanan dan kembali ke perkampungan, tapi Ridho
menyarankan untuk terus berjalan dengan harapan dapat menemukan hal istimewa di
antara setiap tikungan area pesawahan. Ternyata benar saja, setelah kurang
lebih 15 menit yang diawali dengan adanya aliran selokan kecil dengan air yang
jernih, kemudian pemandangan gunung Burangrang ampai akhirnya kita menemukan
bagian dari surga dibalik lekukan gunung Burangrang yaitu sungai Ciherang yang
begitu jernih.
Air Terjun Panembahan
Menikmati Kesegaran Aliran Sungai Ciherang
Aliran Sungai Ciherang
Selama
kurang lebih 2 (dua) jam kita berenang dan berfoto-foto, menikmati kesegaran
air pegunungan yang tidak kita temukan di pekotaan. Setelah puas akhirnya saya menuju ke salah
satu jembatan tradisional yang terbuat dari bambu dengan tanpa terus berhenti
mengagumi keindahan alam yang masih bagian dari Purwakarta dan belum banyak
orang ketahui. Sambil duduk di atas jembatan barengan Adev dan Ridho, tetiba
Adev sahabat terbaik dalam perngalayaban
bertanya: “Gimana yah kalau misalya orang
Afrika atau orang di belahan bumi sana yang kekurangan sumber air di bawa
kesini? Bahagia banget kali yah, kaya nemu surga?”.
Saya
sendiri termenung akan pertanyaan Adev.
Bukan karena kagum akan kepala Adev yang kini menjadi botak sebagai cara
buang sial agar skripsian lancar. Tapi pertanyaan Adev membawa saya pada
perenungan yang begitu dalam, jauh dari khayalan membawa orang Afrika
berkunjung ke Bojong, Purwakarta. Perenungan tersebut terkait dengan sebuah
kata sederhana, namun apabila dipahami secara dalam bermakna luar biasa. Kata
itu adalah “bersyukur”. Ya, kadang kita sering lupa akan hal tersebut, karena
terlalu sibuk melakukan perbandingan dalam berbagai hal. Baik dalam konteks pribadi, seperti keadaan
kehidupan kita dengan teman ataupun melakukan perbandingan pada konteks yang
lebih luas berkaitan dengan kondisi negara kita dengan negara lain. Baik dari
segi sosial, ekonomi, budaya, politik hingga potensi pariwisata yang dimiliki
oleh negara lain yang tanpa disadari bahwa bumi pertiwi ini sangat kaya akan
potensi pariwisata.
Meskipun
sebagian wilayah Purwakarta sedang dilanda tranformasi menjadi kawasan
industri, hingga sawah rata dengan pabrik hingga tidak dapat lagi memproduksi
padi. Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa
daerah Purwakarta ini sebetulnya masih begitu asri dan memiliki daya tarik
tersendiri, dengan tanahnya yang masih subur, dengan air-nya yang masih dapat
menyegarkan, dengan hutan yang oksigennya membuat udara masih dapat menyejukan,
dengan matahari yang masih dapat memberikan hangat tanpa menyakiti.
Pemandangan Gunung Burangrang
Sungai Ciherang
Terlepas
dari melimpahnya sumber air yang merupakan kekayaan alam sebagai pokok pertanyaan
Adev yang telah membawa saya pribadi kepada perenungan tentang bersyukur. Terdapat dua poin yang saya garis bawahi dari
renungan tentang bersyukur yang saya peroleh dalam petualangan di Kampung
Tajur. Pertama, bahwa beryukur perlu
ditanamkan terhadap semua lapisan umur, baik anak-anak, remaja, bahkan orang
dewasa sekalipun. Karena hal ini dapat
menjadi salah satu cara menumbuhkan kebanggan akan potensi pariwisata yang
dimiliki negeri kita, baik keindahan alam pegunungannya, kesejukan hutan yang
dimiliki hingga melimpahnya air yang mungkin bagi sebagian masyarakat di
belahan bumi sana tidak dimiliki.
Kedua,
bersyukur juga tidak hanya dipahami sebatas konteks menghaturkan terima kasih
atas apa yang telah diberikan atau yang diperoleh. Akan tetapi, lebih dari itu
bersyukur menuntun kita terhadap aksi nyata untuk menjaga dan merawat pemberian
sang pencipta. Begitupun dengan menjaga
keindahan alam seperti halnya Kampung Tajur, artinya tidak hanya sebatas pada
aktivitas sebagai wisatwan yang menikmati keindahan alam ataupun kegiatan
promosi potensi pariwisata yang Purwakarta miliki dengan mem-posting di media sosial yang akhirnya
hanya berujung eksploitasi. Tapi juga berkontribusi nyata agar alamnya tetap
terawat dan lestari, menjaga hutanya agar tidak ditebang sesuka hati, tidak
membuang sampah sembarangan, tidak membuat coretan-coretan liar adalah contoh sederhana
lainnya dari aksi nyata bersyukur terhadap potensi pariwisata negeri ini.
BABAK III: #SaveLocalTourism Pentingnya Pengawasan Kebijakan yang Berkelanjutan
Bagai
dua sisi mata pedang yang selalu memiliki sisi baik dan buruk. Pengembangan wisata kampung Tajur pun
demikian, disamping keindahan alam dan suasana asri yang dimiliki sebagai desa
wisata di kabupaten Purwakarta. Di sisi
lain, pengembangan kampung Tajur sebagai desa wisata juga memiliki beberapa
persoalan yang menjadi perhatian saya pribadi, khususnya berkaitan dengan
kesadaran masyarakat baik penduduk setempat maupun wisatawan atau pengunjung. Sebagai
contoh adalah sampah di beberapa titik, perlunya pengawasan dari pembangunan
fasilitas yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Purwakarta,
sampai promosi yang berkelanjutan dari objek pariwisata kampung Tajur sendiri.
Sampah nampaknya menjadi persoalan
yang selalu terjadi pada destinasi wisata lokal di Indonesia. Begitupun dengan kampung
Tajur, meskipun memiliki alam yang asri namun pada beberapa titik terdapat
gundukan sampah yang mengganggu keindahan alam yang disajikan kampung Tajur.
Sampah di Sekitar Kampung Tajur
Kemudian
berkaitan dengan perawatan fasilitas yang telah dibangun oleh Pemda Purwakarta.
Nampaknya pengawasan dari institusi terkait seperti dinas pariwisata ataupun
pemerintah desa setempat perlu lebih dioptimalkan. Mengingat terdafat fasilitas
yang telah dibangun justru kurang terawat dan terkesan diabaikan proses perbaikannya. Seperti halnya leuit, sebagai tempat menyimpan padi. Tidak digunakan sebagai
semestinya dan terlihat sangat kotor dan berisi sampah, bukan padi sebagaimana
seharusnya. Begitupun dengan fasilitas
toilet umum yang disediakan di belakang Aula Bale Warga begitu tampak sangat
kumuh tidak terawat bahkan kering tidak ada air.
Sampah di dalam Leuit yang seharusnya berisi padi
Toilet Umum yang Dibangun Pemda Purwakarta Sangat Kering dan Kotor Tidak Terawat
Jalanan yang Mulai Rusak
Persoalan
selanjutnya adalah masih belum maksimalnya promosi terhadap potensi kampung Tajur
yang terlihat dari media yang dilakukan dalam melakukan promosi, seperti halnya
website yang direkomendasikan oleh Pemda
Purwakarta sebagai pusat informasi lengkap tentang kampung Tajur yang ternyata
tidak dapat diakses. Juga media sosial lain seperti Facebook yang sudah lama tidak digunakan. Bahkan promosi melalui Facebook terakhir dilakukan tahun 2010. Selain itu, promosi terhadap masyarakat
Purwakarta juga perlu dilakukan, mengingat menurut penuturan salah satu warga
setempat bahwa pengunjung dari Purwakarta ke kampung Tajur masih sangat
sedikit, bahkan pengunjung yang datang mayoritas berasal dari luar Purwakrta,
khsuusnya Jakarta, Tanggerang, Bekasi dan beberapa daerah lainnya.
Media Promosi yang Belum Digunakan Optimal
Oleh karena itu, pembangunan suatu kawasan menjadi desa wisata sebagai implementasi kebijakan publik tidak hanya sebatas pada proses melakukan pembangunan fisik ataupun infrastruktur saja, akan tetapi sosialisasi terhadap warga setempat dan pengawasan yang berkelanjutan perlu dilakukan. Agar proses pengembangan desa wisata dilakukan secara optimal.
Penutup
Perjalanan
wisata lokal di kampung Tajur telah memberikan pelajaran berharga, mulai dari
bersyukur atas rahmat Tuhan terhadap keindahan alam negeri ini sebagai potensi
Pariwisata kabupaten Purwakarta yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia,
hingga pemahaman yang jauh lebih mendalam bahwa implementasi kebijakan terhadap
desa wisata, khususnya dalam konteks pengawasan perlu lebih dioptimalkan baik peran
pemerintah, masyarakat dan wisatawan yang perlu dilakukan secara terus menerus
atau sustinable agar pengembangan
desa wisata dapat dilakukan secara optimal. Sehingga pengelolaan dan merawat
kampung Tajur adalah TUGAS KITA BERSAMA!.
Sebagai penutup, bahwa generasi muda dapat menjadi bagian penting dalam proses #SaveLocalTourism kampung Tajur artinya adalah tanggungjawab kita untuk tidak hanya menjadi penikmat pariwisata dengan hanya berfoto-foto ria, tapi juga untuk turut serta mempromosikan potensi pariwisata lokal, kritisi dengan menemukan fakta negatif dari lokasi wisata lokal, dan berkontribusi dengan mengajak orang terdekat untuk menjaga kelestarian alam lokasi wisata lokal yang kita kunjungi. Mengutip salah satu pernyataan bahw terkadang manusia merasa dirinya besar, tapi bagaimanapun disadari atau tidak alam jauh lebih besar. Namun alam dan manusia tidak dapat berdiri sendiri, mereka akan selalu saling membutuhkan dan tanggungjawab kita sebagai generasi muda yang merupakan bagian dari manusia untuk menjaga alam Purwakarta, alam Indonesia, rumah bagi kita dan orang-orang yang kita cinta. #SaveLocalTourism
Tidak ada komentar:
Posting Komentar