Jumat, 21 September 2012

"Menelaah Tragedi Sengketa Tanah di Kupang"


oleh Alpiadi Prawiraningrat

Pembangunan fasilitas umum, misalnya bandar udara pasti ada konsekuensinya. Tidak hanya membutuhkan biaya besar, tetapi yang sering terjadi selama ini masalah tanah.  Kadang-kadang status kepemilikan tanah tidak dipersoalkan ketika fasilitas umum yang dibangun sedang dikerjakan, tetapi setelah cukup lama ketika fasilitas umum yang dibangun sudah dimanfaatkan, ada elemen masyarakat yang menggugat status kepemilikan lahan dengan alasan belum ada ganti rugi dari pemerintah atau instansi yang telah memanfaatkan lahan tersebut.
Salah satu contoh untuk masalah tersebut adalah kasus di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mana puncak kejadianya adalah pendudukan Bandara El Tari di Kupang oleh ratusan warga dari enam suku yang datang berbondong menuju Bandara El Tari Kupang pasa Selasa 17 Januari 2011.  Peristiwa ini disinyalir sebagai buntut dari tuntutan warga yang menuding TNI AU mencaplok lahan seluas 540 hektare milik mereka untuk pembangunan Bandara El Tari Kupang. Lahan itu mereka klaim sebagai tanah ulayat. Akibat aksi pendudukan ini, puluhan penumpang di bandara sempat tertahan di depan pintu masuk pada pagi hari.
Permasalahan tersebut memiliki keterkaitan adat yang mengikat tanah sengketa seluas 540 hektare tersebut.  Keterkaitan adat tersebut muncul dengan adanya klaim bahwa tanah tersebut adalah tanah ulayat.  Tanah ulayat sendiri adalah  suatu bidang tanah yang padanya melengket hak ulayat dari suatu persekutuan hukum adat.  Hak ulayat  tersebut menurut Surojo Wignjodipuro merupakan hak persekutuan atas tanah disebut juga hak pertuanan. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut ‘beschikkingsrecht’.  beschickkingsrecht’ itu sendiri menggambarkan tentang hubungan antara persekutuan dan tanah itu sendiri. Kini lazimnya dipergunakan istilah ‘hak ulayat’ sebagai terjemahannya ‘beschikkingsrecht’. Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai persekutuan. 
Sebagai hak dari suatu persekutuan, hak ulayat itu merupakan hak yang terletak di lapangan hukum publik yang berisi :
1.   kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan mengatur peruntukan, persediaan dan pencadangan  semua bidang-bidang tanah dalam wilayah persekutuan (kewenangan menetapkan masterplan);
2.   kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan menentukan hubungan hukum antara warga persekutuan dengan bidang tanah tertentu dalam wilayah persekutuan (kewenangan pemberian izin / hak atas tanah).
3.   kekuasaan persekutuan untuk mengurus dan mengatur hubungan hukum antar warga persekutuan atau antara warga persekutuan dengan orang luar persekutuan berkenaan dengan bidang-bidang tanah dalam wilayah persekutuan (izin-izin transaksi yang berhubungan dengan tanah).
Di samping keterkaitan adat, adanya pihak yang merasa dirugikan serta  tidak puas atas tanggapan yang menyebabkan kerugian terhadap pihak bersangkutan seperti yang diungkapkan oleh Salah satu kepala suku yang turut dalam aksi itu, Samuel Saba'at mengatakan lahan mereka dicaplok TNI AU dengan dasar sertifikat tanah dikeluarkan Badan Pertanahan Kota Kupang tahun 1992. Parahnya, Samuel mengklaim, surat itu dikeluarkan tanpa sepengetahuan enam kepala suku, sehingga memicu amarah karena merasa tidak dihormatinya hukum adat wilayah setempat.
Keadaan semakin diperparah dengan kekukuhan yang diungkapkan oleh pihak TNI AU dengan melakukan bantahan terhadap tudingan masyarakat adat setempat.  Sebagaimana yang diungkapkan oleh Komandan Pangkalan Udara TNI Angkatan Udara Kupang, Letnan Kolonel Navigasi Joko Winarko, yang dihubungi di Kupang membantah tudingan warga.
Bantahan serupa juga datang dari Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama Asman Yunus. Menurut dia, pembangunan Lanud El Tari menggunakan dokumen-dokumen yang sah.
Permasalahan ini harus segera di selesaikan, karena menimbulkan berbagai kerugian.  Selain kenyamanan tranportasi penerbangan di bandara yang terganggu, jauh lebih kuas dikhawatitrkan jika masalah ini terus dibiarkan akan berdampak sangat negatif terhadap tidak hanay integrasi sosial masyarakat setempat melainkan kesatuan dan persatuan bangsaIndonesia atau integrasi nasional.  Sehingga perlulah upaya-upaya nyata dan tegas untuk menaggulangi permasalahan sengketa tersebut
salah satu jalan yang dapat dietmpuh adalah melalui jalur non litigasi yang merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan.  Hal ini dikarenakan situasi masyarakt yang tengah dihadapi adalah masyarakat yang notabenya adalah golongan tradisional dengan kepercayaan terhadap adat yang sangat kuat.  Sehingga diperlukan strategi diplomasi yang tpat sehingga masyarakat tersebut merasa tidak dirugikan. 
Upaya non ligitasi tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranyta negosiasi, mediasi atau konsiliasi.  Ketiga cara tersebut dipilih dikarenakan memungkinkan kedua belah pihak untuk duduk bersama dan saling bermusyawarah sehingga diperoleh suatu kesepakatan bersama di antara kedua belah pihak.
Namun, saya menilai bahwa upaya yang paling tepat adalah dengan melakukan mediasi di antara kedua belah pihak, baik dari TNI AU sendiri serta masyarakat adat setempat.  Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa secara pribadi, informal dimana seorang pihak yang netral yaitu mediator, membantu para pihak yang bersengketa untuk mencapai suatu kesepakatan umum melalui kompromi dan saling memberikan kelonggaran di mana mediatorlah sebagai penengahnya.
Mediasi dipilih sebgai upaya untuk meminimalisir hal atau perilaku negatif yang mungkin muncul pada saat proses negosiasi yang diakbitakan ketegangan di antara keduabelah pihak. Melalui  mediasi para pihak yang bersengketa baik masyarakat adat dan TNI AU dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan/melalui suatu situasi yang saling menguntungkan (win-win solution) dengan memberikan atau melepaskan kelonggaran atas hak-hak tertentu berdasarkan asas timbal balik dengan bantuan mediator yang netral tentunya untuk mengindentifikasikan isu-isu yang dipersengketakan mencapai kesepakatan.  Sehingga baik dari pihak TNI AU dan masyarakat adat tidak merasa dirugikan dan kewajiban serta hak masing-masing pihak saling terpenuhi.
Persetujuan atau kesepakatan yang telah dicapai tersebut dituangkan secara tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kesepakatan tertulis tersebut bersifat final dan mengikat para pihak dan wajib didaftarkan di pengadilan negeri dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal dicapainya kesepakatan. 
Selain itu, sebaiknya pemerintah daerah dan instansi terkait terlebih dahulu membereskan status kepemilikan tanah dengan para pemilik tanah di kawasan sengketa tersebut. Jika duduk bersama masyarakat pemilik lahan dan tokoh masyarakat untuk membicarakan ganti rugi tanah di lokasi bandara tidak dilakukan oleh pemerintah daerah, akan terjadi persoalan yang mungkin dapat lebih mengkhawatirkan.
Pemberian secara jelas mengenai status kepemilikan tanah yang dilakukan pemerintah dibeberapa wilayah di Indonesia setidaknya dapat meminimalisisr konflik yang dapat muncul dari  persoalan tersebut.  Semakin terminalisisrnya konflik tersebut diharapkan akan dapat menjaga keamanan dan integrasi sosial maupun nasional bangsa Indonesia.  Selebihnya upaya seperti negosiasi, konsiliasi ataupun mediasi, hanyalah sebgai upaya bahwa masyarakat Indonesia masihlah menjunjung musyawarah dan mufakat sebagai solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan dibandingkan dengan pertarungan fisik yang justru dapat menyebabkan kerugian fisik maupun jiwa.  Semua upaya ini tidak lain hanyalah sebagai usaha dalam mempertahankan integrasi nasional bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar