Kamis, 31 Januari 2013

"KETERKAITAN PEMIKIRAN POLITIK THOMAS HOBBES MENGENAI TEORI KONTRAK SOSIAL DENGAN ASAL MULA TERBENTUKNYA NEGARA"



Teori-teori mengenai asal-usul terbentuknya suatu negara dapat dikategorisasikan menjadi dua kategori utama, yaitu pertama, teori-teori yang spekulatif dan kedua, adalah teori-teori yang historis atau teori-teori yang revolusionistis.
Teori perjanjian masyarakat atau teori kontrak sosial merupakan salah satu dari teori-teori spkulatif.[1] Teori perjanjian masyarakat atau teori kontrak sosial menganggap perjanjian sebagai dasar negara dan masyarakat.  Teori ini dipandang tertua dan terpenting.  Setiap perenungan mengenai negara dan masyarakat, mau tidak mau akan menghasilakn paham-paham yang mendasarkan adanya negara dan masyarakat itu pada persetujuan anggota-anggotanya.  Persetujuan tersebut dapat dinyatakan secara tegas (expressed)  atau dianggap telah diberikan secara diam-diam (tacitly assumed).[2]
Salah satu tokoh yang paling berpengaruh mengenai konsep perjanjian masyarakat atau kontrak sosial adalah Thomas Hobbes.[3]  Seorang tokoh penganjur absolutisme demi kebaikan dan ketertiban dan pendukung ajaran desakralisasi kekuasaan atas dasar agama.

Thomas Hobbes dilahirkan di Malmesbury pada tanggal 3 April tahun 1588 dan meninggal pada tanggal 4 Desember tahun 1669 di Hardwick Hall, Debyshire, Inggris.  Karena lahir di Malmesbury, Hobbes juga disebut sebagai “Filsuf dari Malmesbury”.  Hobbes bukan seorang negarawan atau politikus, ia seorang filsof yang mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah falsafah politik.  Karya-karya politiknya dimuat antara lain dalam buku-buku: The Elements of Law, Natural and Political, 1640, De Cive, 1642 dan terutama serta paling termasyhur ialah Leviathan atau Commonwealth[1] yang ditulis dalam tahun 1651. Bukunya ini menunjukan dengan nyata bagaimana manusia dan pergaulan dalam hidupnya sebagai suatu mekanisme, serta manusia sebagai subjek yang penuh rasa takut dan hanya bertindak berdasar kepentingan diri.[2] Ketiga buku ditulis dengan motif-motif politik tertentu, umpamanya ”Leviathan” ditulis untuk membenarkan dan memberi dasar hukum pada kekuasann raja Charles I yang bertakhta sebagai raja Inggris selama periode 1625-1649.
Thomas Hobbes temasuk seorang penyokong teori Divine Right yang dianut oleh golongan Torries di Inggris.  Unsur-unsur teori ini,[3] ialah:  1)  Kekuasaan raja besifat mutlak; 2) Raja merupakan kepala keluarga yang besar; 3).  Kerajaan adalah kehendak Tuhan; 4) Hanya dalam monarkhi terdapat kekebasan beragama; 5) Parlemen hanya sebagai penasehat.  Unsur –unsur dari teori Divine Right ini akan jelas terlihat mempengaruhi pemikiran Hobbes terutama dalam konsep Negara Leviathan yang kelak diuangkapkannya.
Untuk menyelami falsafah politik Hobbes patutlah diketahui keadaan- keadaan politik di Inggris semasa hidupnya.  Karena Hobbes adalah anak dari zamanya dan teorinya hanya dapat dimengerti jika ditinjau dengan latar belakang historis dari zamannya tersebut.
Ketika Hobbes dilahirkan dalam tahun 1588, seluruh penduduk kepulauan Inggris terancam oleh bahaya, yaitu armada laut yang tidak terkalahkan dari Spanyol yang berada di bawah pimpinan laksaman Medina Sidonia.  Ketakutan akan ancaman armada laut Spanyol ini meresap pada setiap kalbu orang Inggris. Hobbes kemudian mengalami sendiri perang saudara yang menimpa penduduk Inggris, yakni pertikaian antara Long Parliment dan Charles I (1642-1651) yang mengakibatkan terpenggalnya kepala Charles I.  Dengan latar belakang yang menakutkan dan mengerikan tersebut Hobbes lahir dan dibesarkan.  Oleh karena itu falsafah politiknya menampakkan adanya unsur-unsur ketakutan yang menurut Hobbes menjadi peranan utama dari pada kemajuan manusia.
Beranjak kepada pemikirannya, Thomas Hobbes membedakan Natural Law dengan Natural Right[4].  Natural Right ialah hak kekuasaan yang dimiliki setiap orang untuk berbuat apa saja untuk mempertahankan hidupnya.  Dan Natural Right yang mengakibatkan timbulnya konflik atau perkelahian tersebut, disebabkan tidak ada aturan yang membatasi.
Thomas Hobbes mempergunakan sebagai titik pangkal dalam ajarannya bahwa manusia sejak dilahirkan telah membawa hak-hak asasinya, seperti hak untuk hidup, kemerdekaan dan hak milik.  Hak-hak ini termasuk dalam hukum alam (natuurrecht).[5]  Akan tetapi tidak ada jaminan bahwa seorang dapat menikmatinya secara utuh karena orang lain juga menghendaki kesenangan tersebut.  Untuk mengatasi atau mendapatkan jaminan Hobbes bekata bahwa pencapaian harus dilakukan dengan mengikuti hukum-hukum alam tersebut.[6]  Pertama, bahwa setiap orang harus berusaha menciptakan damai, bila ingin mendapat kedamaian.  Kedua, bahwa setiap orang atas kemauan bersama menyerahkan haknya menjadi hak bersama dalam bentuk suatu kemerdekaan yang besar menghadapi semua orang termasuk mereka yang menyerahkan haknya.  Kedua prinsip inilah yang menjadi landasan Teori Perjanjian masyarakat atau kontrak sosial dari Hobbes.[7]
 Berkaitan dengan proses tercapainya kontrak sosial. Hobbes mengikuti jalan pikiran teori kontrak sosial pada umumnya tentang kehidupan manusia yang terpisah dalam dua zaman itu, yakni masa selama belum ada negara (status naturalis atau state of nature) dan kedaan bernegara.  Bagi Hobbes keadaan alamiah saat belum ada negara atau lebih sering dikenal dengan istilah status naturalis atau state of nature, sama sekali bukan keadaan yang aman senatosa, adil dan makmur.  Tetapi sebaliknya, keadaan alamiah merupakan suatu keadaan sosial yang kacau, tanpa hukum yang dibuat oleh manusia secara sukarela dan tanpa pemerintah, tanpa ikatan-ikatan sosial antara individu itu masing-masing,  sebagaimana keadaan keadaan di hutan rimba raya di mana yang kuatlah yang berkuasa.  Manusia seakan-akan merupakan bintang yang senantiasa berada dalam keadaan bermusushan, terancam oleh sesamanya dan menjadi mangsa dari manusia lebih kuat dari padanya.  Keadaan ini dilukiskan dalam istilah ”homo homini lupus”, manusia yang satu merupakan binatang buas bagi manusia yang lain.  Dalam keadaan ini, manusia saling bermusuhan, beradu terus menerus dalam keadaan peperangan yang satu melawan yang lain.  Keadaan inilah dikenal sebagai “bellum ominum contra omnes” (perang antara semua melawan semua).  Bukan perang dalam arti peperangan terorganisis, tetapi perang dalam arti keadaan bermusushan yang terus menerus antara individu dengan individu lainnya.
Karena itu, dalam keadaan alamiah ”There is no place for industry, because the fruit there of is uncertain and consequently no culture of the earth, no navigation, nor use of the commodities that may imported by sea, no commodious building, no instruments of moving, and removing such things as require much force, no knowledge of the face of the earth, no account of time, no letters, no society and which is worst of all, continual fear and danger of violent death.  And the life of man, solitary, poor, nasty, bruitsh and short.[8]
Maka dari itu, keadaan alamiah tidak dapat berlangsung terus.  Manusia dengan akalnya mengerti dan menyadari bahwa demi kelanjutan hidup mereka sendiri, keadaan alamiah harus diakhiri dan hal ini dilakukan dengan mengadakan perjanjian bersama dalam istilah Hobbes adalah covenant, di mana individu-individu yang tadinya hidup dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan semua hak-hak yang dimilikinya kepada seorang atau sebuah badan (semacam dewan rakyat) dan tidak akan mencabut lagi.[9]  Di sinilah letak kaitan antara teori hukum alam dengan teori perjanjian.  Inilah yang dipahami Hobbes bahwa perjanjian sendiri hanya ada satu yakni pactum subjectionis atau perjanjian pemerintahan dengan cara segenap individu yang berjanji menyerahkan semua hak-hak kodrat mereka yang dimiliki ketika hidup dalam keadaan alamiah, kepada seorang atau sekelompok orang yang ditunjuk untuk mengatur kehidupan mereka sebagaimana dijelaskan di atas.[10] 
Adapun teknik perjanjian masyarakat yang dikonstruir oleh Hobbes adalah sebagai berikut:  Setiap individu mengatakan kepada individu lainnya bahwa:  I authorise and give up my right of Governing myself, to this Man, or to this Assembely of men, on this condition, that thou give up theyy right to him and Authorise all his Actions in like manner”.[11]  Dengan kata-kata seperti itu terbentuklah negara yang dianggap dapat mengakhiri anarkhi yang menimpa individu dalam keadaan alamiah.  Dengan perjanjian seperti itu terbentuklah “that great Leviathan atau commonwealth or rather to speak more reverently of that Mortal God, to which we owe under the Immortal God, our peace and defence[12]  pihak yang memperoleh kekuasaan akan mewakili mereka yang telah berjanji tadi.[13] Jadi bagi Hobbes, isi perjanjian bersama ini mengandung dua segi: pertama, perjanjian antara sesama sekutu, sehingga tercipta sebuah persekutuan dan kedua, perjanjian menyerahkan hak dan kekuasaan masing-masing kepada seorang atau majelis secara mutlak.[14] Dalam perjanjian itu juga disepakati untuk saling menyerang dan hidup mematuhi undang-undang.[15] Hanya ada satu hak yang tidak diserahkan kepada negara, hak untuk mempertahankan diri.[16]
Peerlu ditegaskan bahwa perjanjian itu terjadi antara individu dengan individu, bukan antara individu dengan negara.  Maka, menurut Hobbes yang terikat sepenuhnya perjanjian adalah individu-individu itu sendiri.[17]  Negara sendiri itu bebas, tidak terikat oleh perjanjian.  Ia berada di atas individu.  Negara bebas melakukan apapun yang dikehendakinya, terlepas apakah sesuai atau tidak dengan kehendak individu.  Negara versi Hobbes ini juga tidak memiliki tanggung jawab apapun terhadap rakyat. Maka dari itu, Negara harus diberikan pula kekuasaan, karena “Convenants without the Sword, are but Words, and of no strength so secure a man at all”.[18] 
Negara harus berkuasa penuh sebagaimana halnya dengan binatang buas “Leviathan” yang dapat menaklukan segenap binatang buas lainnya.[19]  Negara harus diberikan kekuasaan mutlak sehingga kekuasaan negara tidak dapat ditandingi dan disaingi oleh kekuasaan apapun atau Non est potestas Super Terram quae Comparatur ei.[20]  Sehingga rakyat tidak dapat menentang pemegang kuasa, meskipun kekuasaan yang dipergunakan bersifat zalim, kecuali dalam satu hal yaitu hak yang disebut:  “hak selfpreservation”, yakni hak untuk memlindungi diri sendiri.  Apabila hak selfpreservation ini tidak dapat lagi dilindungi oleh body politik yang merupakan common power itu, maka barulah rakyat mengambil tindakan.  Dalam hal ini, Schmid mengurai pikiran Hobbes ini sebagai berikut.[21]
Sang daulat tak mungkin melanggar perjanjian, karena ia tidak mengikat perjanjian itu, jadinya ia tidak melepaskan hak-haknya.  Karena itu ia tak mungkin bertindak tidak adil tehadap rakyatnya.  Memang ia dapat bertindak tidak sepatutnya, tetapi ia tak mungkin bertindak berlawanan dengan hukum.  Jadi rakyatnyapun tak dapat menuduh bahwa ia telah berbuat demikian atauu telah melanggar perjanjian, selebihnya rakyat juga tak dapat menyatakan kehendak mereka untuk melakukan perlawanan.  Kedaulatan ialah kekuasaan tanpa batas untuk kepentingan-kepentingan tujuan negara.”
Penadapat Hobbes ini harus dipahami oleh latar belakang keadaan Inggris pada waktu itu.  Perang saudara sedang berkecamuk.  Penduduk sangat menderita. Mengahadapi semua ini, wajarlah bila Hobbes berpikiran bahwa tanpa ada kekuatan yang besar yang bisa memaksakan kehendaknya pada masyarakat, keadaan kacau ini akan terus terjadi tanpa ada hentinya.  Kekuasaan itu adalah negara, yang diwakili oleh seoarng raja yang berkekuasaan mutlak.  Individu harus rela menyerahkan hak-haknya supaya kepentingannya, keamanannya dan perdamaian jangka panjang dapat dijamin. Kalau tidak, tidak akan ada kekuasaan politik yang bersifat efektif.  Inilah negara dengan kekuasaan besar, yang oleh dijelaskan di atas disebut Leviathan.[22]
Berkaitan dengan konsep kekuasaan mutlak dan bentuk negara, Hobbes sendiri tidak mengemukakan secara jelas pereferensinya mengenai bentuk negara terbaik.  Bagi Hobbes, semua bentuk negara baik, asal kekuasaan negara itu tidak terbagi-bagi. Namun, dia menjelaskan bahwa Monarkhi absolut dengan hanya memiliki seorang penguasa adalah bentuk negara terbaik.  Sebab, negara dengan seorang penguasa akan bisa tetap konsisten dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya, sedangkan bila negara dikuasai oleh sebuah dewan besar kemungkian kebijakan negara akan mudah berubah.[23] Seorang penguasa monarkhi menurut Hobbes memiliki hak-hak istimewa. Di antaranya, hak menetapkan seorang pengganti, jika dia berhalanag atau telah meninggal dunia.  Pengganti tersebut bebas untuk dipilih dari pihak manapun, bahkan dari pihak keluarga sekalipun.  Yang terpenting adalah penguasa penggatinya mampu melakukan kewajibannya sebagai penguasa ataukah tidak.
Dengan teori perjanjian seperti terlukis di atas tidaklah mengeherankan bahwa Hobbes meletakan dasar-dasar falsafah dari negara mutlak, teristimewa negara kerajaan absolut.  Hobbes adalah seorang royalist yang berpendirian bahwa hanya negara yang berbentuk negara kerajaan yang mutlaklah dapat menjalankan pemerintahan dengan baik.
Beberapa sifat kodrat manusia dianggap oleh Hobbes sebagai faktor-faktor yang menentukan nasib manusia.  Manusia adalah makhluk yang hanya mengutamakan dirinya sendiri (selfish), egoistis dan tindakan-tindaknnya tidak dituntun oleh akal atau inteleknya, tetapi oleh keinginan, hasrat dan nafsu.  Manusia membentuk negara dan masyarakat sipil karena ia sadar bahwa hidup bernegaralah yang dapat menjamin kelanjutan hidup mereka secara damai dan tentram.  Jadi manusia bernegara demi kelanjutan hidupnya sendiri (self-preservation).[24]
Hobbes juga menyinggung perihal peran agama dalam kehidupan sosial. Hobbes lebih jauh berpendapat bahwa agama turut berperan sebagai sarana kontrol sosial yang juga mencakup tipu muslihat dan angan-angan yang menyesatkan dalam rupa rangsangan terhadap rasa takut atau takhayul. Agama bersumber dari rasa takut manusia, maka bisa berfungsi memperbesar rasa takut itu untuk menciptakan ketertiban. Dengan fungsi ini, agama harus orthodox, dan menurut Hobbes mengajarkan sebuah ajaran bi’dah adalah sebuah kejahatan, sebab akan memunculkan anarki. Bersama Machiavelli, dia setuju bahwa agama dapat dipakai sebagai instrumen politik.[25]
Namun demikian berkaitan dengan teori perjanjian masayarakat atau kontrak sosial tersebut tidak terlepas dari tinjauan keberatan-keberatan dan kebaikan-kebaikan teori itu sendiri sebagai formula politik.  Dalam abad ke 19 teori ini sudah sama sekali ditinggalkan, tanpa penganut-penganut baru.  Gilchirst menulis bahwa teori perjanjian masyarakat ditinggalkan karena beberapa hal[26], yakni:  1)  timbulnya ajaran dan metode historis dalam politik yang merubah sikap mental dunia kesarjanaan dari sikap spekulatif ke sikap yang positif.  Montesquieu di Prancis dan Burke di Inggris adalah pelopor-pelopor aliran historis ini.  2)  timbulnya teori evulosionistis dari Drawin yang mengaggap pertumbuhan evolusioner sebgai hukum dari semua makhluk hidup dan lembaga-lembaga politik.  3)  Adanya unsur-unsur yang sehat mengenai kedaulatan politik beserta diakuinya pemisahan antara negara dengan pemerintah,  4)  keburukan-keburukan teori ini sendiri yang menyebbakan kematiannya.
Kelemahan pertama ialah sifat tidak historisnya keadaan alamiah itu.  Tidak pernah dapat dibuktikan adanya suatu zaman alamiah dalam sejara umat manusia.  Tidak pernah umat manusia mengenal suatu zaman tanpa ikatan-ikatan sosial apapun, tanpa organisasi dan pimpinan.  Hukum kodrat yang dianggap mengatur keadaan alamih itu pun tidak pernah dapat dibuktikan.  Hal ini mengingatkan kita pada apa yang dikatakn Prof. Van Apeldoorn megenai hukum kodrat, yaitu bahwa hukum kodrat itu suatu kepercayaan yang dapat dianut, tapi tidak dapat dibuktikan.[27]
Manusia senantiasa merupakan makhluk sosial, zoon politikon, makhluk yang bernegara, tidak pernah manusia hidup diluar sesuatu jenis kekuasaan apapaun.  Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mac Iver:  Goverment is a phenomenon that emerges within the socisl life, inherent in the nature of sosial order man’s social nature is a complex system of responses and of need.  In the relation of man to man everywhere there is the seed of government”.[28]
Penyelididkan enthologis tentang kebudayaan-kebudayaan lama juga membuktikan, bahwa manusia selalu hidup dalam ikatan-ikatan antara sesamanya.  Hal ini berarti bahwa manusia tidak pernah hidup di luar perkelompokan.  Hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia terutama ditujukan kepada persekutuan dan tidak kepada individu, hukum-hukum lama lebih bersifat kommunal dari pada individual.  Sebagaimana dikatakan Prof. Maine, hukum-hukum lama “are binding not on individuals but on families. The movement of progressive societies has been one of status to one of contract”.[29]
Kecaman lainnya yang lazim dilontarkan terhadap teori –teori kontrak sosial itu ialah berhubungan dengan sifat mengikatnya perjanjian tersebut bagi generasi kemudian.  Jika dikatakan bahwa negara dibentuk dengan persetujuan tertentu, maka logislah bahwa generasi yang menutup perjanjian itu seharusnya menaati ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian itu.  Pacta Suni servanda.[30]  Akan tetapi bagaimana dengan generasi-generasi kemudian? tidaklah logis, jika mereka juga harus mentaati apa yang telah diadakan oleh nenek moyang mereka, tanpa persetujuan mereka sendiri. 
Tetapi, di samping kelemahan-kelemahan tersebut di atas, teori perjanjian masyarakat atau kontrak sosial juga ada kebaikan atau kelebihannya.  Jika tidak demikian, maka mustahilah teori ini dapat bertahan berabad-abad lamanya.  Kebaikan pertama doktrin ini ialah bahwa negara dijadikan produk manusia sendiri dan bukan karunia makhluk-makhluk supranatural atau dewa-dewa yang suci.  Dengan perjanjian masyarakat, negara dikembalikan ke bumi, kepada manusia.  Doktrin ini dengan tepat melihat dasar kekuasaan negara pada persetujuan rakyat.  Rakyatnya yang menjadi potensi dan sumber kekuasaan, rakyat pulalah yang berdaulat.  Nilai dan teori perjanjian selanjutnya terletak pada aspeknya sebagai rasonalisasi dari hubungan pemerintah dan yang diperintah.  Sebagaimana diungkapkan oleh Bertram Morris dalam karangannya yang merupakan sumbanagn kepada Prof. George Holland Sabine.  it (teori perjanjian masyarakat) is a principle which a state must embody it is to be justified morally, and justification is, in essence, the consent of the goverment in the affairs of state[31]






[1] Leviathan adalah nama hewan laut yang besar yang disebut dalam Perjanjian Lama.  Commonwealth artinya negeri persemakmuran bersama.  Tetapi istilah ini dipergunakan juga bagi Pemerintahan Inggris tahun 1649-1653, yaitu masa dari pengahpusan monarkhi hingga masa pemebntukan protektorat, yaitu pemerintahan di bawah Cromwell.
[2] Deliar Noer.  Pemikiran Politik di Negeri Barat.  (Jakarta: PT Rajawali,1982), hlm. 77.
[3] M. Solly Lubis S. H.  Ilmu Negara.  (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 37.
[4] Lubis, Ibid., hlm. 38.
[5] Moh. Koesnardi, SH dan Bintan R. Saragih, SH.  Ilmu Negara.  (Jakarta: Perintis Perss, 1985), hlm. 44.
[6] Drs. H. Sitanggang.  Filsafat dan Etika Pemerintahan.  (Jakarta: Pustaka Sinara Harapan, 1998), hlm. 48.
[7] Sitanggang, Ibid., hlm. 48.
[8] Thomas Hoobes.  Leviathan.  (edisi Everyman’s Library: New York: E.P Dutton & Company; London: J.M. Dent and Sons, 1950), hlm. 65
[9] Ahmad Suhelmi.  Pemikiran Politik Barat.  (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 176.
[10] W. Friedman.  Legal Theory. (London: Stevens & Sons Limited, 1960), hlm. 42.
[11] Hobbes, op cit., hlm.  89.
[12] Hobbes, Loc. Cit.
[13] Deliar Noer,  Op. Cit.,  hlm. 79.
[14] Deliar Noer, Ibid.,
[15] Suhelmi, Op, Cit., hlm. 176.
[16] Suhelmi, Ibid., hlm. 176.
[17] Suhelmi, Ibd., hlm 176
[18] Hobbes, Op. Cit., hlm 87.
[19] Kiasan bianatng buas Leviathan yang dapat menalukan binatang-binatang buas lainnya yang menghuni rimba-raya dilukiskan dalam buku Job dari kitab Injil Perjanjian Baru.
[20] F.  Isjwaa,  Op. Cit., hlm. 126.
[21] J.J. von Schmid.  Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum. (Jakarta:  Pustaka Sarjana, 1965), hlm. 173-172.
[22] Arief Budiman.  Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi.  (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996).  Hlm. 14.
[23] Deliar Noer.  Op. Cit., hlm. 81.
[24] F.  Isjwara.  Ibid., hlm. 136.
[25] Sari dari teks Leviathan dikutip dari Forrest E Baird (ed). 1997. Modern Philosophy. Prentica Hall: New Jersey. Hal 82-83.

[26]Gilchrist, R. N. Principles of political science.  (New York: Long Mans Green and Co, 1921), hlm. 65-66.

[27] Apeldoorn, L.J. van. Pengantar Ilmu Hukum.  (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm 345.
[28] R.M. Mac Iver, The Web Of Government. (New York: The Mac Millan Company, 1961), hlm. 20.
[29] Sir Henry Maine, Ancient Law, (Everyman’s Library nomor 734) hlm 100 (Buku ini disertasi kata pengantar J.H. Morgan).
[30] F.  Isjwaa, Op. Cit., hlm. 132.
[31] Bertram Morris, The Substance of the Social Contract, dalam Essays in Political Theory Presented to George Holland Sabine,. Edited by Milton R. Konvit and Arthur E. Murphy.  Hlm 113.
 





[1] Teori-teori spekulatif  lainnya di antaranya adalah teori teokratis, teori kekuatan, teori patriarkal, teori matriarkal, teori organis, teori daluwarsa, teori alamiah dan lain-lain.  Lihat Ni’matul Huda, Dr. S.H., M. Hum.  Ilmu Negara.  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada2011), hlm. 37.
[2] F. Isjwara.  Pengantar Ilmu Politik.  Cetakan 9.  (Jakarta: Binacipta, 1992), hlm. 136.
[3] Dua tokoh berpengaruh lainya adalah John Locke dan JJ. Rousseau.  Lihat F. Isjwara,.  Pengantar Ilmu Politik.  Cetakan  9.  (Jakarta: Binacipta, 1992), hlm. 122.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar