Tulisan
ini di dasarkan pada artikel Taiwan: Nation State or Province? yang
ditulis oleh John F. Cooper.[1]
Mengawali tulisannya, Cooper mengungkapkan bahwa memahami sejarah politik
Taiwan adalah suatu hal yang kompleks, karena merupakan pengaruh dari
masyarakat lokal, kolonialisme Barat, sistem birokrasi Cina da Feodalisme
Jepang. Akan tetapi melalui tulisan ini,
akan mencoba membahas berbagai hal terkait dengan sistem poltik di Taiwan,
termasuk konstitusi, sistem politik dan pemerintahan, partai politik,
pemerintahan tingkat lokal dan partisipasi politik Taiwan.
Mengawali sejarah politiknyanya pada
abad ke tujuh belas sebagai koloni Belanda, Taiwan mengalamai masa kekosongan
kekuasaan (Vacum of Power) sebelum
akhirnya dikuasi oleh Cina. Negara
Taiwan belum memiliki pemerintahan yang efektif sebelum akhirnya di jajah oleh
Jepang pada tahun 1895. Setelah perang
dunia II sistem politik Taiwan ditranplantasikan dari Cina oleh Chian Kaishek
dengan tujuan mendirikan suatu negara Republik Cina. Pertumbuhan ekonomi pasar
yang bebas pada awal tahun 1960 dilihat Taiwan
sebagai suatu kesempatan untuk melakukan reformasi politik sebagai
langkah awal menuju negara demokrasi.
Fluktuasi kehidupan politik di Taiwan terjadi pada tahun
1970-an dan 1980-an, Taiwan mengambil posisi di pemerintahan. Pada periode ini
ditandai dengan munculnya partai politik, pemilu yang kompetitif, perluasan kebebasan
masyarakat dalam bidang politik dan sipil, dan kepedulian terhadap pembentukan citra
Taiwan di pasar internasional, masa ini dipahami sebagai awal mula masyarakat Taiwan menghasilkan demokrasi. Beberapa
akademisi bahkan menyebut kondisi perubahan politik Taiwan yang cepat dan demokratisasi damai sebagai suatu "keajaiban
politik." Pada tahun 2000, Taiwan mengalami apa yang dikatakan
"konsolidasi demokrasi", ketika Chen Shui-bian dari oposisi
Partai Progresif Demokratik terpilih sebagai Presiden. Namun, pada masa kepemimpinan Chen ini, Taiwan dalam keadaan miskin
karena perlambatan ekonomi, dan korupsi yang menimbulkan kekecewaan publik yang
serius dengan pemerintahan pada saat itu.
Budaya
politik Taiwan dipengaruhi oleh tradisi budaya politik Cina, Jepang dan Barat.
Pada mulanya birokrasi Taiwan tidak terlepas dari ciri birokrasi Cina yang Secara
teori, Cina memiliki sistem politik kesatuan, bahkan, bagaimanapun, kekuasaan
politik adalah desentralisasi. Awal mulanya
birokrasi Taiwan berasal dari tradisi birokrasi Cina dibawa ke Taiwan, namun
perjalananya birokrasi ini tidak cocok diterapkan di Taiwan. Budaya politik yang
dimaksud adalah budaya politik yang elitis (tidak bersimpati pada partisipasi
masyarakat). Di samping itu, budaya politik Taiwan juga
terpengaruh oleh Jepang terutama
pada periode 1895-1945.
Dalam periode ini, birokrasi dinilai kurang penting, karena Jepang
memfokuskan pada senjata dan uang sebagai upaya memenangkan perang pada masa
itu. Jepang di Taiwan, yang menanamkan
sistem feodal, mendirikan badan hukum yang berfungsi untuk mengatur dan
meregulasi masyarakat, serta meningkatkan pengembangan infrastruktur dan
modernisasi perekonomian.
Selanjutnya,
pada tahun 1960, politik Taiwan diliputi dengan ide-ide politik Barat, terutama
kebebasan hak individu seperti yang dipraktikkan di Barat menjadi hal yang
diidealkan, terutama oleh generasi muda Taiwan.
Di samping itu, dalam hal ekonomi eksistensi Taiwan dalam pasar bebas
diperluas dan perdagangan luar negeri tumbuh.
Pada masa ini demokrasi hadir sebagai suatu keharusan, diikuti dengan arus
informasi yang semakin terbuka bebas dan dilihat sebagai suatu hal penting
untuk akuisisi teknologi dan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Dengan
demikian, budaya politik Taiwan diserap baru komponen demokratis.
Setelah
kekalahan Jepang pada Perang Dunia ke-2 dan kekalahan partai nasionalis Cina,
Kuomintang (KMT) yang dipimpin oleh Chiang Kai-Shek, melawan partai komunis
Cina yang dipimpin Mao Zedong, Chiang beserta pasukan militernya (berjumlah
sekitar 2 juta prajurit) melarikan diri ke Taiwan, dan akhirnya mendirikan
pemerintahan yang berbasiskan ajaran Sun Yat Sen yang bernama “Tiga Prinsip
Rakyat” ketiga prinsip tersebut adalah nasionalisme, demokrasi, dan hajat hidup
orang banyak. Dengan adanya tawaran proteksi militer dari Amerika Serikat
(sebagai kelompok pemenang Perang Dunia ke-2) Chiang beserta pemimpin partai
KMT lainnya mengadakan pemilu dalam tingkat lokal untuk mendirikan suatu bentuk
sistem pemerintahan di Taiwan secara demokratis dan sesuai dengan ajaran Sun
Yat Sen, yang tidak dapat terealisasikan di wilayah daratan Cina yang berada
dalam kekuasaan komunis. Walaupun pemerintahan yang demokratis pada tataran
lokal mulai terealisasikan, pada tataran nasional, pemerintahan negara masih
didominasi oleh petinggi partai KMT yang walaupun berusaha untuk
mengimplementasikan tiga prinsip ajaran Sun Yat Sen dalam pemerintahan Taiwan,
masih memegang posisi strategis dalam pemerintahan Taiwan, hal ini diperkuat
dengan deklarasi militer darurat oleh Chiang Kai- Shek serta ketentuan
sementara yang melarang pembentukan partai politik di Taiwan, yang secara
efektif menjadikan KMT sebagai partai tunggal yang berkuasa di Taiwan, memegang
peran baik dalam eksekutif dan legislatif, tentunya hal ini sama sekali tidak
menggambarkan negara Taiwan yang demokratis, Chiang, petinggi partai KMT serta
para pendukung partai KMT beranggapan bahwa demokratisasi di sebuah wilayah
baru tidak dapat secara serta-merta dilaksanakan, hal ini ternyata juga
merupakan pendapat dari Sun Yat Sen yang kemudian diadposi oleh Chiang,
masyarakat Taiwan pada umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan yang
tinggi sehingga dibutuhkan waktu untuk Chiang serta partai KMT untuk melakukan
pendidikan politik kepada masyarakat sebelum akhirnya secara gradual dan
perlahan bertransisi menjadi negara yang demokratis.
Singkatnya,
budaya politik Taiwan telah dibentuk oleh keragaman pengaruhterutama demokrasi
Barat yang memfasilitasi masyarakat lebih konservatif dan mendukung hak-hak individu.
Akan tetapi, demokrasi Taiwan berbeda, demokrasi
Taiwan seringkali disebut sebagai demokrasi versi Asia, demokrasi yang
menekankan pentingnya kerja keras serta stabilitas sosial, beranggapan bahwa
keluarga merupakan institusi sosial yang utama, serta menghormati yang lebih
tua, sistem birokrasi dalam demokrasi versi Asia berusaha untuk bekerja secara
efisien dan menghindari perdebatan yang dianggap hanya membuang waktu.
Selanjutnya
dalam hal konstitusi merupakan dasar hukum untuk pembentukan dan pengaturan negara.
Konstitusi Taiwan mengalami beberapa kali amandemen sejak tahun 1946, dimana
konstitusi pertama kali disetujui oleh pemerintahan Chiang, dokumen ini
mendeskripsikan bentuk pemerintahan Taiwan sebagai campuran dari sistem
presidensial, parlemen dan kabinet, secara garis besar bentuk pemerintahan
Taiwan berpusat pada pemerintahan tataran nasional yang berkuasa penuh terhadap
angkatan polisi dan militer, walaupun pada tataran lokal, masyarakat diberikan
sejumlah otonomi dalam mengatur keuangan serta membuat kebijakan yang tidak
berkaitan dengan kepentingan nasional. Konstitusi Taiwan juga mengatur
perlindungan kalangan minoritas sampai pemerintah
menginisiasikan tindakan afirmatif demi memastikan representasi dari kalangan
minoritas di parlemen, konstitusi Taiwan juga secara detail menjelaskan tentang
visi dan misi negara dalam aspek ekonomi, pertahanan, kebijakan luar negeri,
jaminan sosial, serta pendidikan, hal ini sangat jarang ditemukan dalam
konstitusi negara-negara barat.
Pada
tahun 1992, konstitusi kembali diamandemen dan mengubah beberapa poin penting
dalam kontkes penyelenggaran kehidupan politik di Taiwan, di antaranya aturan pemilihan
umum majelis nasional menjadi empat tahun sekali, pemilihan umum secara
langsung presiden menjadi empat tahun sekali, anggota dari badan Kontrol Yuan
ditunjuk, tidak lagi melalui pemilihan umum secara tidak langsung, reformasi
pemerintahan provinsi dan pemerintahan lokal, menjamin dukungan penuh
pemerintah terhadap penelitian ilmu alam serta teknologi, perlindungan
lingkungan, amandemen hak universal yang mencakup hak perempuan di Taiwan dan
jaminan keselamatan serta perlindungan bagi mereka yang cacat dan memiliki
keterbatasan fisik maupun mental, kalangan minoritas serta suku aborigin.
Kemudian beberapa kali terdapat amandemen konstitusi pada tahun 1994, 1997, 1999,
dan 2003.
Dalam
konteks pemilihan umum, tahun 1996 merupakan awal untuk Taiwan merealisasikan
pemerintah yang demokratis, karena untuk pertama kalinya melangsungkan
pemilihan umum nasional secara langsung, namun penerapan dari hasil pemilu
masih menunjukkan bahwa Taiwan sebagai negara yang belum mampu menggambarkan
garis yang jelas antara hubungan Presiden dengan legislatif. Hubungan yang
naik-turun ini terlihat kembali pada saat saat Chen Shui-Bian memenangkan
pemilu umum presidensial pada tahun 2000, Presiden Chen seringkali mengalami gridlock dengan legislatif. Pemilu
Taiwan juga menjadi pusat perhatian beberapa negara besar dunia sebagai mitra
dagang Taiwan, seperti Pemilu pada tahun 2012 lalu, di mana hasil tidak hanya
akan menentukan politik dalam negeri Taiwan, juga akan berpengaruh terhadap
hubungan dengan Cina dan Amerika Serikat sebgai dua kekuatan yang berpengaruh
di Asia Pasifik, karena bagimanapun Hubungan Taiwan dengan Cina selalu menjadi
isu yang hangat dalam setiap pemiihan umum di Taiwan.[2]
Sebagai
negara demokrasi, diperlukanya suatu upaya untuk melakukan distribusi
kekuasaan. Oleh karena itu, Taiwan memiliki lima cabang pemerintahan yaitu
eksekutif, legislatif, yudikatif, lembaga pemeriksaan serta lembaga pengawasan.
Berdasarkan kelima cabang pemerintahan tersebut, eksekutif dinilai sebagai
cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan paling besar karena memiliki
keterikatan yang kuat dengan masyarakat apabila dibandingkan dengan lembaga
lain. Eksekutif terdiri dari Presiden dan kabinet yang dipimpin oleh seorang Premier yang dipilih langsung oleh
Presiden, bertugas menjadi pemimpin kabinet yang terdiri dari wakil Premier serta delapan orang menteri,
yang terdiri dari Menteri Dalam Negeri; Menteri Luar Negeri; Menteri
Pertahanan; Menteri Keuangan; Menteri Pendidikan; Menteri Keadilan; Menteri Perekonomian;
Menteri Transportasi dan Menteri Komunikasi.
Di samping itu, terdapat juga badan pemerintahan lainnya yang berada di
bawah kuasa eksekutif.
Hal
tersebut menunjukkan begitu luasnya wewenang dan tangung jawab eksekutif dalam
politik Taiwan, dimulai dari formulasi kebijakan hingga tugas-tugas
administrasi. Oleh karena itu, hubungan
antara Presiden dan Premier sudah
seharusnya merupakan hubungan yang harmonis agar tugas pemerintahan dapat berjalan
dengan lancar, akan tetapi dalam
perjalanan politik di Taiwan tidak demikian.
Relasi antara Presiden dan Premier
kerapkali menemui berbagai masalah dan perselisihan sehingga tidak jarang
masa jabatan seorang Premier tidak
berlangsung lama atau tidak sampai hingga habis masa jabatan, dikarenakan mengundurkan
diri yang disebabkan oleh perselisihan serta konflik dengan Presiden. Dalam perjalananya, lembaga eksekutif Taiwan
kerap kali diterpa oleh pemebritaan dan fakta tidak mengenakan. Sebagaimana
berita beberapa bulan lalu yang mengungkapkan bahwa Menteri Pertahanan
(Menhan) Taiwan, Andrew Yang, mengundurkan diri setelah menjabat hanya dalam
waktu enam hari terkait ramainya tuduhan telah melakukan penjiplakan artikel mengenai Tentara Pembebasan Rakyat di Cina yang ditulis oleh seorang kawan dengan
menggunakan namanya.[3]
Luasanya
kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif Taiwan tidak dapat dipisahkan dari peran
lembaga legislatif. Hal ini terkait dengan berbagai keputusan serta perumusan
yang dilaksanakan oleh eksekutif dapat diinterpretasikan, disetujui, ditolak
ataupun dirubah oleh legislatif. Legislatif di Taiwan secara gradual memiliki
kekuasaan yang lebih besar dari sebelumnya, seiring dengan semakin cepatnya
transisi demokrasi di Taiwan pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an,
masyarakat semakin menuntut parlemen yang benar-benar representatif terhadap
kepentingan masyarakat di Taiwan. Legislatif di Taiwan merupakan badan
unikameral yang memberlakukan hukum dalam pemerintahan nasional dan seringkali
disebut parlemen ataupun senat. Fungsi lain dari kekuasaan legislatif adalah
menyetujui kebijakan darurat, menyetujui anggaran yang diajukan oleh eksekutif,
mengajukan amandemen terhadap konstitusi, menyetujui pernyataan serta laporan
yang disusun oleh eksekutif, serta melakukan pengawasan terhadap badan
yudikatif, kontrol serta badan pemeriksaan milik negara. Badan legislatif Taiwan
sendiri tidak terlepas dari persoalan, seperti berita baru-baru ini yang
menginformasikan bahwa Ketua parlemen Taiwan, Wang Jin-Pyng dipecat dari partai
itu karena dugaan menekan jaksa dalam kasus yang melibatkan sesama anggota
parlemen.[4]
Sedangkan
badan yudikatif Taiwan secara fungsional kurang lebih sama dengan fungsi badan
yudikatif di negara-negara lain, namun secara struktur mengalami beberapa
perbedaan, salah satunya adalah sistem peradilan di Taiwan yang mengadopsi
sistem peradilan Jerman yang berpusat pada hakim atau hakim-sentris. Dalam
implementasinya perbedaan tersebut memperoleh kritik karena dinilai kinerja
yang dilakukan kurang efisien dan tidak independen, serta rentan terhadap
pengaruh partai yang memenangkan pemilu pada periode tersebut.
Selanjutnya
Badan Pengawasan Taiwan, berfungsi sebagai pengawas pemerintah (sama halnya
dengan Kantor Akuntabilitas Pemerintah yang ada di Amerika Serikat). Pada tahun
1993, Badan Pengawas menjadi sebuah organisasi milik pemerintah yang anggotanya
dipilih langsung oleh Presiden dengan persetujuan anggota legislatif dengan
tugas bertanggung jawab untuk membuat serta mengelola proses rekrutmrn pegawai
negeri sipil.
Telah
dijelaskan bahwa sistem politik Taiwan berpusat pada pemerintahan nasional, konsekuensinya
sebagian besar kebijakan Taiwan berada dalam kekuasaan pemerintah pusat, namun
hal ini tidak berarti seluruh kepentingan masyarakat difasilitasi oleh
pemerintah pusat, karena Taiwan memiliki pemerintahan provinsi dan pemerintahan
lokal yang mengurus serta mengelola kepentingan masyarakat dalam wilayah
yuridis masing-masing, mereka memiliki wewenang sekaligus tanggung jawab
mengelola dan memfasilitasi pemenuhan kepentingan masyarakatnya. Akan tetapi apabila
kepentingan tersebut memiliki relasi dengan kepentingan nasional, maka akan
secara otomatis wewenang tersebut berada di dalam ranah kekuasaan pemerintah
pusat.
Dalam
konteks Pemilu, Taiwan menilai bahwa Pemilu merupakan suatu proses politik yang telah memainkan peran penting dalam politik lokal Taiwan sejak
tahun 1950 dan secara nasional sejak tahun 1980. Pemilu memiliki peran penting
dalam mewujudkan kessuksesan modernisasi negara dan demokratisasi. Pemilu juga
telah berperan penting dalam memperkuat partai politik, membantu merumuskan
kebijakan, dan mendorong demokratisasi kinerja pemerintah.
Hal menarik dari Pemilu Taiwan
adalah prosentase pengumpulan suara
dalam pemilihan umum pemerintah lokal lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
pengumpulan suara pemilihan umum pemerintah pusat di Taiwan, sehingga hipotesis
awal menunjukan bahwa masyarakat Taiwan lebih mempercayakan kepentingan mereka
terhadap pemerintah lokal. Hal ini
didasarkan pada keyakinan bahwa mereka memiliki keterikatan yang kuat dengan
anggota pemerintah lokal, sehingga masyarakat Taiwan secara umum lebih mengenal
calon pemimpin pemerintah lokal dibandingkan dengan calon anggota legislatif
tingkat nasional ataupun presiden. Singkatnya, pemilu
lokal membuat kontribusi besar untuk Demokratisasi Taiwan.
Sekilas
telah diugkapkan bahwa dinamika politik Taiwan pernah mengalami stagnansi,
karena adanya dominasi dunia perpolitikan Taiwan oleh partai Nasionalis Cina
yaitu Kuomintang (KMT) yang dipimpin oleh Chiang Kai-Shek dengan ajaran dasar Sun
Yat Sen, terutama setelah lepas dari pemerintahan kolonial Jepang. Setelah
mengalami kekalahan dalam perang melawan partai komunis Mao Zedong, Chiang
beserta prajurit dan pendukungnya, melarikan diri ke Taiwan kemudian berusaha
merealisasikan “Tiga Prinsip Rakyat” Tiga Prinsip Rakyat
tersebut menekankan kepada Pembangunan
Bangsa; Demokrasi, dengan
peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik; dan Pembangunan ekonomi sebagai upaya
menciptakan negara yang kaya dan kuat serta masayarakat yang sejahtera). Sun,
bagaimanapun, mengajarkan bahwa demokrasi harus dikembangkansecara bertahap
karena orang-orang yang belum terlatih atau siap untuk menerima tanggung jawab
tersebut.
Tiga
Prinsip Rakyat Sun Yat Sen yang tidak tercapai di wilayah daratan Cina
memotivasi Chiang untuk merealisasikanya di negara Tawan. Tanpa adanya perlawan berarti dari warga
lokal Taiwan atas kedatangan Chiang serta rendahnya latar belakang pendidikan
masyarakat lokal Taiwan, memberikan ruang bagi Chiang serta petinggi KMT untuk
membentuk pemerintahan yang demokratis, namun dengan alasan bahwa transisi
demokrasi di Taiwan harus dilakukan secara bertahap dan tidak terburu-buru,
Chiang melarang adanya pembentukan partai politik lainnya yang menyaingi KMT,
namun akhirnya pada akhir tahun 1980-an terjadi peningkatan berdirinya partai
oposisi yang dapat menyaingi KMT tidak hanya dalam pemilu, namun juga dalam
parlemen dan badan milik pemerintah lainnya. Beberapa partai tersebut adalah Democratic Progressive Party, People First
Party, New Party, Taiwan Independence Party, dan Taiwan Solidarity Union.
Dalam perjalanannya, beberapa partai tersebut kerap mengalami perselisihan,
terutama terkait dengan perbedaan pendapat mengenai status Taiwan, beberapa
dari partai yang disebutkan diatas menginginkan reunifikasi Taiwan dengan Cina,
namun ada juga yang justru menginginkan kemerdekaan Taiwan sebagai negara
independen dan bebas dari kekuasaan Cina.
Persoalan
di atas nampaknya memiliki korelasi dengan literatur lain yang melihat konteks
dinamika politik Taiwan secara internal dan eksternal. Konteks dinamika
perpolitikan internal Taiwan sangat
berkaitan dengan permasalahan antara Taiwan dan Cina yang mempengaruhi
proses-proses politik di Taiwan. Political forces di Taiwan terbagi
menjadi dua akibat adanya konflik tersebut, yaitu:[5] Kelompok pertama berada di bawah
pimpinan Presiden Chen Shui-Bian sejak Maret 2000 beserta dengan pihak radikal
seperti Taiwan Solidarity Union bentukan Lee Teng-Hui yang bersatu
dalam naungan partai Democratic Progressive Party (DPP); Kelompok kedua, adalah partai dibawah
naungan Kuomintang dalam partai nasionalisnya (KMT). Dalam tangga
perpolitikan DPP berpendapat bahwa Taiwan adalah sebuah entitas yang terpisah
dari Cina daratan, berlawanan dengan posisi KMT bahwa Taiwan dan daratan,
meskipun saat ini dibagi, keduanya adalah bagian dari ‘satu Cina’. Pihak DPP
yang selanjutnya dikenal dengan pan-green camp ini
memperjuangkan Taiwan sebagai negara independen dan sepenuhnya terlepas dari
Cina melalui berbagai tindakan reformasi radikal. Sedangkan partai KMK yang
mebawahi kelompok pan-blue camp lebih memilih untuk membuat kebijakan
secara berhati-hati agar tidak menimbulkan konflik baru dengan Cina.
Sedangkan
dalam Dinamika politik eksternal Taiwan berhubungan dengan relasi Taiwan dengan
negara lain yang dilihat melalui beberapa poin signifikan, di antaranya:[6] a)
Ditandatanganinya Taiwan Relation Act
pada 10 April tahun 1979 oleh Presiden Carter, yang didalamnya yang mengatur
hubungan antara Taiwan dengan Amerika Serikat; dan b) Melalui vacation
diplomacy, dimana dilakukan pemberian VISA ke negara-negara kecil untuk
meningkatkan jumlah kunjungan. Hal ini dapat dipahami sebagai sebuah bentuk
upaya untuk menemukan celah adanya pengakuan internasional mengenai eksistensi
Taiwan itu sendiri.
Akan
tetapi, dari berbagai penjelasan di atas, cukup menarik melihat perkembangan
ekonomi Taiwan yang berhasil membuat pencapaian yang luar biasa dalam bidang enterpreneurship. Berdasarkan artikel
yang dituliskan oleh Fu-Lay Tony Yu, Ho-Don Yan, dan Shan Yu-Chen dijelaskan
bahwa Taiwan menduduki peringkat yang tinggi dalam bidang enterpreneur.
“According to the Small and Medium Enterprise
Administration (SMEA), in 2003 about 97.8 % of enterprises in Taiwan are small
and medium-size enterprises (SME’s), and they make up 75 to 80 % of all employment
and 47 % of the economy’s GDP. Within the SME’s, 9.7 % of them last less than
one year.5 According to the Taiwan’s Industry, Commerce and Service Census
(2002), between 1995 and 2000 the survival rate of these enterprises was 69.4
%. The ease of firms to establish and shut-down indicates the dynamism of
entrepreneurship in Taiwan.”[7]
Tulisan John
F. Cooper Secara keseluruhan sudah
mendeskripsikan unsur-unsur penting politik di Taiwan. Nilai lebih dari tulisan ini menjadi stimulan yang menarik bagi pembaca untuk memahami lebih mendalam dinamika politik di Taiwan. Sedangkan di sisi lain, akan jauh lebih baik jika tulisan
tersebut juga memuat analisis terhadap
contoh kasus yang dipaparkan, dan memuat informasi rinci. Informasi-informasi
tersebut dapat
berupa data dan sebagainya. Informasi tersebut tentunya sangat berguna
bagi pembaca untuk lebih memahami lebih mendalam mengenai kompleksitas dinamika politik negara Taiwan.
Daftar Pustaka
Referensi
Utama:
Cooper,
John F. Taiwan: Nation State or Province?.
Colorado: Westview Press, 2009.
Sumber
Buku:
Overholt,
William H. Smaller Places, Decisive Pivots: Taiwan, Korea, Southeast Asia”
dalam Asia, America, and Transformation of Geopolitics. New York:
Cambridge University Press. Chp.5, 2008.
Robert
G Sutter. “Relations with Taiwan” dalam Chinese Foreign Relations:
Power and Policy Since Cold War. Rowman and Littlefield Publisher, Inc.
Chp.7, 2008.
Sumber
PDF:
Yu,
Fu-Lay Tony, Yan, Ho-Don & Chen, Shan Yu. Adaptive Enterpreneurship and Taiwan’s Economic Dynamics. PDF
version.
Sumber
Website:
Tanpa nama. Pemilu Taiwan yang diamati Cina dan Amerika Serikat dalam http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/01/120110_taiwan_election.shtml diakses pada Senin, 11 November 2013; Pukul 07.43 WIB.
Tanpa
nama. Menhan Taiwan Hanya Bertahan Enam
Hari dalm http://pesatnews.com/read/2013/08/07/32648/menhan-taiwan-hanya-bertahan-enam-hari.
Diakses pada Senin, 11 November 2013; Pukul 07.52 WIB.
Tanpa
nama. Ketua Parlemen Taiwan
Tersingkir akibat Skandal Politik http://m.voaindonesia.com/a/1748136.html
diakses pada Senin, 11 November 2013; Pukul 07.14 WIB.
Kinanti,
Fellin. Dinamika Ekonomi dan Politik
Taiwan. http://fellinkinanti-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-46979-Masyarakat%20Budaya%20Politik%20Asia%20Timur-Dinamika%20Ekonomi%20&%20Politik%20Taiwan.html
diakses pada Minggu, 10 November 2013; Pukul 19. 36 WIB.
[1] John F.
Cooper. Taiwan: Nation State or
Province? (Colorado: Westview Press, 2009), hlm. 107-148.
[2] Tanpa nama. Pemilu Taiwan yang diamati Cina dan Amerika Serikat dalam
http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/01/120110_taiwan_election.shtml diakses pada Senin, 11 November
2013; Pukul 07.43 WIB.
[3] Tanpa nama. Menhan Taiwan Hanya Bertahan Enam Hari dalm http://pesatnews.com/read/2013/08/07/32648/menhan-taiwan-hanya-bertahan-enam-hari. Diakses pada Senin, 11 November
2013; Pukul 07.52 WIB.
[4] Tanpa nama. Ketua Parlemen Taiwan Tersingkir akibat Skandal Politik http://m.voaindonesia.com/a/1748136.html diakses pada Senin, 11 November 2013; Pukul 07.14 WIB.
[5] Robert G Sutter. 2008. Relations
with Taiwan dalam Chinese Foreign Relations: Power and Policy Since
Cold War. Rowman and Littlefield Publisher, Inc. Chp.7, hlm. 201.
[6] William H Overholt. 2008. Smaller
Places, Decisive Pivots: Taiwan, Korea, Southeast Asia” dalam Asia,
America, and Transformation of Geopolitics. New York: Cambridge University
Press. Chp.5, hlm. 147.
[7] Yu, Fu-Lay Tony, Yan, Ho-Don
& Chen, Shan Yu. Adaptive
Enterpreneurship and Taiwan’s Economic Dynamics. PDF version., p. 11 dalam
Fellin Kinanti. Dinamika Ekonomi dan
Politik Taiwan. http://fellinkinanti-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-46979-Masyarakat%20Budaya%20Politik%20Asia%20Timur-Dinamika%20Ekonomi%20&%20Politik%20Taiwan.html diakses pada Minggu, 10 November
2013; Pukul 19. 36 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar