Oleh
Alpiadi Prawiraningrat
Apa itu ideologi? adalah sebuah pertanyaan mendasar yang
berkaitan dengan apa yang dikemukakan oleh Heywood dalam bukunya yang berjudul Politics. secara sederhana Heywood berpendapat bahwa: ” Ideology is coherent set of ideas that provides a basis of organised
political action..”[1]artinya
bahwa ideologi merupakan seperangkat
ide/gagasan dasar dalam melaksanakan
kegiatan politik yang terorganisir.
Gagasan yang diungkapkan oleh
Heywood, bisa jadi terinspirasi dari makna ideologi yang dikemukakan oleh Antoine
Destutt de Tracy (1754-1836) yang dianggap sebagai orang yang mempopulerkan
istilah ini pada 1796. De Tracy memaknai
ideologi sebagai “ilmu tentang gagasan”. Dia percaya bahwa mengupas akar suatu
gagasan secara objektif adalah sesuatu yang mungkin, hal inilah yang hendak
dilakukannya dengan ideologi tersebut.
Bagaimana keterkaitannya? Dari dua pengertian mengenai ideologi di
atas, dapat kita pahami bahwa ideologi adalah seperangkat gagasan yang dapat
digunakan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam suatu negara.
Pernyataan tersebut didasarkan oleh pendapat Antoine Destutt de Tracy dalam
bukunya Elements of Ideology. Dia mengungkapkan bahwa ideologi bila dikembangkan
dapat menjadi ratu bagi ilmu-ilmu lainya dan berguna dalam menyelesaikan suatu
permasalahan.
Kemunculan ideologi sebagai salah
satu istilah kunci dalam politik dapat di dari tulisan Karl Marx (1818-1883),
terutama dari salah satu karya awalnya The
German Ideology. Dalam pandangan Marx, ideologi merupakan manifestasi
kekuasaan kelas yang berkuasa. Ideologi digunakan untuk menyamarkan praktik
eksploitasi yang dilakukan oleh kelas penguasa atas kelas proletar (pekerja),
sehingga kelas proletar gagal untuk menyadari bahwa sesungguhnya mereka telah
ditindas. Marx memandang gagasannya sebagai pemikiran ilmiah (scientific), sebab ia disusun secara
akurat untuk menelanjangi bekerjanya sejarah dan masyarakat.
Apa makna dari penjelasan Marx
tersebut? Maknanya adalah bahwa selain
berguna dalam menyelesaikan suatu persoaalan. Ideologi juga dapat digunakan
sebagai alat dalam melanggengkan kekuasaan dan memfasilitasi individu atau kelompok
tertentu dalam menjalankan misinya.
Kembali kepada tulisan Heywood,
diungkapkan bahwa Ideologi merupakan suatu sistem gagasan yang kompleks,
melingkupi areal kehidupan yang luas. Maka dari itu, acapkali pandangan mengenai
suatu ideologi kadang bersinggungan dengan pandangan ideologi lain.
Di bawah ini adalah pengelompokan
sederhana berbagai ideologi yang pernah ada.
Pengelompokan ini, tidak bisa secara tepat menggambarkan hakikat
ideologi tertentu. Tetapi, pengelompokan ini dapat membantu sebagai pengantar
kepada pemahaman yang lebih lanjut.
Tabel
1
Perbandingan
Penekanan Ideologi Politik
No
|
Hal
yang Ditekankan
|
Contoh
Ideologi
|
1
|
Perjuangan Kelas
|
Sosialisme; Komunisme; Marxisme.
|
2
|
Kebebasan Pribadi
|
Liberalisme;
Libertarianisme.
|
3
|
Kebersamaan
|
Sosialisme;Sosialdemokrasi;
Komunisme; Populisme.
|
4
|
Kesukuan atau Kebangsaan
|
Nasionalisme;Regionalisme;
Fasisme; Nazisme; Rasisme.
|
5
|
Tradisi
|
Konservatisme.
|
6
|
Isu Pokok Tertentu
|
Feminisme;Maskulinisme;Ekologisme.
|
Sumber: diolah dari
beberapa sumber
Selanjutnya, dikemukakan
gagasan-gagasan pokok yang menjadi ciri beberapa ideologi. Gagasan-gagasan
penting dalam liberalisme adalah hal-hal tentang pribadi, kebebasan, nalar,
keadilan, dan toleransi.[2]
Kontras dengan liberalisme, sosialisme menonjolkan gagasan-gagasan tentang
komunitas, kesetaraan, kerjasama, pemenuhan kebutuhan, dan kepemilikan bersama.
Sementara anarkisme yang merupakan pengusung ideologi anti-negara mendasarkan
pada gagasan-gagasan tatanan alami, anti-negara, dan kebebasan ekonomi.
Ideologi yang juga ekstrem adalah fasisme yang mendasarkan pada gagasan-gagasan
nasionalisme yang militan, kepemimpinan dan elitisme, perjuangan, dan anti-rasionalisme.[3]
Secara sederhana perbedaan
pandangan di antara ideologi-ideologi politik dapat diuraikan sebagai berikut.
Tabel 2
Perbandingan Pandangan Ideologi
Tentang Kebebasan
No
|
Ideologi
|
Penjelasan
|
1
|
Kaum
Liberal
|
Memprioritaskan kebebasan sebagai nilai tertinggi
bagi setiap pribadi.
|
2
|
Kaum
Konservatif
|
Menekankan pada tanggung jawab dan memandang
kebebasan negatif sebagai ancaman bagi tatanan masyarakat.
|
3
|
Kaum
Sosialis
|
Umumnya
memandang kebebasan secara positif sebagai langkah menuju pemenuhan diri
secara mandiri.
|
4
|
Kaum
Anarkis
|
Menganggap kebebasan sebagai nilai mutlak
yang tidak mungkin didamaikan dengan kewenangan politik dalam bentuk apa pun
|
5
|
Kaum
Fasis
|
Menolak segala bentuk kebebasan pribadi dan
menganggapnya sebagai omong kosong.
|
Sumber: Andrew Heywood.
Politics.
Tabel 3
Perbandingan Pandangan Ideologi
Tentang Masyarakat
No
|
Ideologi
|
Penjelasan
|
1
|
Kaum
Liberal
|
Memandang masyarakat bukan sebagai suatu
kesatuan pada dirinya sendiri, melainkan sebagai sekumpulan individu.
|
2
|
Kaum
Konservatif
|
Memandang masyarakat sebagai suatu
organisme, sebuah kesatuan yang diikat oleh tradisi, kewenangan, dan
moralitas bersama.
|
3
|
Kaum
Sosialis
|
Memahami masyarakat dalam arti kekuatan
kelas yang tidak setara, dengan keberjarakan dalam hal hak milik dan ekonomi.
|
4
|
Kaum
Anarkis
|
Percaya
bahwa masyarakat ditandai oleh ketiadaan regulasi dan harmoni yang alami.
|
5
|
Kaum
Fasis
|
Menganggap masyarakat sebagai kesatuan
organik yang menyeluruh, kebersamaan lebih diakui ketimbang keberadaan
individu-individu.
|
Sumber: Andrew Heywood.
Politics.
Tabel 4
Perbandingan Pandangan Ideologi
Tentang Kesetaraan
No
|
Ideologi
|
Penjelasan
|
1
|
Kaum
Liberal
|
Percaya
bahwa orang dilahirkan setara, dalam arti bahwa mereka memiliki nilai moral yang setara.
|
2
|
Kaum
Konservatif
|
Memandang bahwa secara alami masyarakat itu
hirarkis, dengan demikian penghapusan ketidaksetaraan tak akan terwujud.
|
3
|
Kaum
Sosialis
|
Memandang kesetaraan sebagai nilai yang
mendasar untuk memastikan kohesi sosial dan persaudaraan.
|
4
|
Kaum
Anarkis
|
Percaya
bahwa masyarakat ditandai oleh ketiadaan regulasi dan harmoni yang alami.
|
5
|
Kaum
Fasis
|
Percaya
bahwa kehidupan manusia ditandai oleh ketidaksamaan yang radikal baik antara
pemimpin dan yang dipimpin maupun antarnegara/ras.
|
Sumber: Andrew Heywood.
Politics.
Pada 1960 Daniel Bell, seorang
sosiolog dari Universitas Harvard, melemparkan sinyalemen yang mengejutkan
melalui bukunya The End of Ideology.
Hal ini didasarkan kenyataan bahwa setelah Perang Dunia II (terutama di Barat) politik
diwarnai oleh kesepahaman umum di antara partai-partai politik besar dan
tiadanya perdebatan atau pemilahan ideologis yang jelas. Ketidaksepahaman di
antara partai-partai hanya menyangkut cara terbaik untuk mewujudkan pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan materi. Dengan demikian politik telah direduksi dan
berada di bawah persoalan ekonomi. Bagi Bell, ideologi pun kemudian menjadi
tidak lagi relevan.
Pada 1970an berkembang
neo-liberalisme yang mengedepankan gagasan ekonomi privat dan nilai-nilai keluarga.
Ideologi ini pun memperoleh gugatan dari berbagai kalangan mengingat dampak
negatif yang dihasilkannya. Yaitu antara lain melebarnya kesenjangan antara
kalangan berpunya dan mmiskin, terpinggirkannya kepentingan publik, dan
kerusakan lingkungan.
Pada 1989, dunia juga dikejutkan
oleh runtuhnya Tembok Berlin dan terpecahnya Uni Soviet menjadi beberapa negara
baru merdeka. Keruntuhan ini dianggap oleh banyak kalangan sebagai kebangkrutan
ideologi komunis. Zbigniew Brzezinski (1992) menyebut bahwa glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi) yang
digagas oleh Gorbachev telah meruntuhkan bangunan gagasan Leninisme yang
berpijak terutama pada totalitarianisme dan teror. Pemusatan kekuasaan politik
di tangan segelintir elite partai membuat birokrasi mampu mengendalikan hampir
seluruh struktur masyarakat. Sementara, teror menggejala pada digunakannya
kekerasan terorganisasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan politik,
ekonomi, maupun sosial budaya. Pembaruan politik yang dilakukan kemudian meruntuhkan
basis keabsahan politik rezim totaliter, sebab pembaruan tersebut kemudian
memberi ruang yang lebih leluasa bagi partisipasi sosial (meski baru pada
tataran yang minimal).
Melihat kenyataan ini, Francis
Fukuyama (1992) dengan optimis menyebut era ini sebagai the end of history. Setelah bangkrutnya fasisme dan runtuhnya
komunisme, kata Fukuyama, kini demokrasi liberal muncul sebagai pemenang di
arena politik. Optimisme ini dipandang secara skeptis oleh Samuel Huntington.
Bagi Huntington penerimaan universal demokrasi tidak serta merta menghindarkan
konflik di dalam liberalisme, selain itu kemenangan satu ideologi tidak
menyingkirkan kemungkinan munculnya ideologi baru. Huntington (1997) pun
kemudian memunculkan tesis baru bahwa sumber utama konflik di dunia pasca Perang
Dingin bukan lagi ideologi atau ekonomi. Budayalah yang akan menjadi faktor
pemecah belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan. Suatu benturan
antar peradaban.
Daftar Pustaka
Heywood, Andrew. 1998
(2nd edition), Political Ideologies: an
Introduction, MacMillan Press Ltd, London.
Surbakti, Ramlan.
2010. Memahami Ilmu Politik. PT
Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta.
Fukuyama, Francis,
1992. The End of History and the Last Man.
Avon Books: New York.
Brzezinski, Zbigniew,
1992 (cet 2), Kegagalan Besar: Muncul dan
Runtuhnya Komunisme dalam Abad Kedua Puluh (terj: Tjun Surjaman), Rosda
Karya: Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar