Kamis, 20 September 2012

REVIEW ŽIŽEK AND POLITICS: A CRITICAL INTRODUCTION



Chapter 3: “Did Žižek Say Democracy?” 
 oleh Alpiadi Prawiraningrat

Pembahasan pada bab tiga yaitu “Did Žižek Say Democracy?” merupakan kelanjutan bab pertama yaitu “Žižek and the Radical-Democratic Critique of Ideology”, yang menceritakan bagaimana pandangan Žižek terhadap ideology dengan kritik demokrasi radikal. Jika pada bab kedua buku ini yaitu, “Retrieving the subject: Žižek Teheotrical Politics” tentang manifesto komunis dan teori serta kritikan terhadap teori. Pada chapter ini, dijelaskan mengenai teori politik Žižek yang ketiga yaitu teori tentang tipe dari rezim politik. Teori politik Žižek yang radikal demokratis menggabungkan analisis ideologi Sinisme dengan kritik mengenai teori post – sturcturalist dalam posisi yang kuat dan masuk akal. Dengan subjek kelompok Kiri dan kelompok Kanan serta keterkaitanya dengan demokrasi berdasarkan pemikiran Žižek .
Pada awalnya, para pilosofis politik menggunakan dasar pemikiran pada pemikiran tentang pembagian tipe_tipe dari rezim politik, yang kemudian dilanjutkan dengan kualifikasi yang ditambahkan oleh Aristoteles, Machiavelli dan Montesquieu. Tetapi pemikiran ini cenderung ketinggalan zaman karena tidak sesuai dengan keadaan modern di barat.
Pemikiran pre-modern adalah pemerintah yang baik merupakan pemerintah yang memiliki visi tunggal mengenai masyarakat berjalan baik. Oleh karena itu, dengan adanya perubahan zaman maka karakterstik dari agen politik dan para pilosofis pun berubah. Partai politik dan rezim diklasifikasikan antara “progressive” atau “reactionary” dengan melihat bagaimana mereka bertahan selama masa Enlightenment. Selain itu ada pengklasifikasian lain yaitu “conservative ”, “liberal” atau “socialist”.
Liberalisme politik merupakan ideologi yang paling sesuai dengan keadaan modern karena terdapat solusi terbaik terhadap permasalahan yang ada di masyarakat pra-modern dan pada masa perang abad Ke-16 dan 17, serta merupakan kesatuan dari kelompok politik yang memiliki beragam nilai moral dan idealis politik yang saling bersaing utuk mendapatkan sebuah bentuk kesetiaan dari para pengikutnya. Nilai pluralisme yang ada itu tidak bisa dikurangi tetapi merupakan fakta sejarah dari kehidupan politik modern. Liberalisme politik telah menjawab pertanyaan dari ide tantang moral dan otonomi politik:
·         Setiap individu bebas untuk memilih konsep mengenai kebutuhan terpenting dari doktrin kepercayaan, ideologi politik, ide moral dan lainnya.[1]
·         Setiap individu memiliki hak untuk merealisasikan konsep mereka yang mereka miliki terhadap masyarakat terkecuali mereka ingin melanggar hak milik orang lain.[2]
·         Negara menjamin kebebasan tiap individu untuk netral dalam nilai, ide dan ke-Tuhanan.[3]
                 Posisi seorang liberan bagi masyarakat modern yang konservatif dan soisalis mendefinisikan mereka sendiri sebagai oposisi dari politik liberalisme. Tujuan konservatif merupakan kebeasan politik yang meremehkan pentingnya “blood, soil, tradition, and God”. Liberalisme memaksa tiap individu untuk tidak menentu dan mengarah ke “postmodern nihilism”. Menurut para sosialis, liberalisme politik ini menutup pandangan mengenai hubungan kekuatan yang mengarah terhadap perlakuan yang tidak berkeprimanusiaan dari masyarakat yang berbasis pasar. Para sosialis ini menentang ide liberalism tentang pengampunan dari eksploiatasi ekonomi sebagai “free contract” antara  individu individu.
                 Perkembangan teknologi dari masyarakat modern telah memungkinkan adanya kemunculan dari rezim yang tidak terbayangkan oleh filosofi politik yang lama. Rezim ini berlawanan dengan liberalisme. Pada awal abad 20an terdapat kemunculan dari rezim fasisme dan terdapat juga rezim yang berlawanan dengan itu yaitu “totalitarianisme” yang dijelaskan sebagai manifestasi dari cara pemerintah rezim fasis dan komunis. Permulaannya, digunakan oleh Hannah Arendt, Carl Friedrich dan Zbigniew Brzezinski. Terdapat kritik yang menunjukan bagaimana siapnya penyediaan dari tujuan ideologi dari Amerika dan negara liberal-kapitalis pada saat perang dingin dengan bagian komunis setelah perang dunia kedua.
                 Pada masa kini, pengunaan dari istilah “totalitarianisme” menggunakan 5 pernyataan[4],
·         “Totalitarianisme” merupakan modernisme yang terkesan serba salah, karena rezim ini mengisi rentang antara terputusnya modernisasi dari semua hubungan organik sosial tradisional.
·         Holocaust merupakan kejahatan yang absolut yang tidak bisa dianalisa dalam keadaan konkret dari analisis politik.
·         Neoliberal mengklaim bahwa proyek pembebasan politik yang radikal memerlukan akhir dalam beberapa versi dari dominasi dan control totalitarian.
·         Postmodern saat ini menyatakan bahwa politik totalitariansme telah di hukum oleh penutupan metafisikal.
·         Pada akhirnya, studi kebudayaan postmodern itu sendiri telah dipanggil sebagai “totalitarian”.
                 Žižek menggunakan istilah “totalitarianisme” sebagai istilah yang umum. Žižek memperhatikan perbedaan antara rezim fasisme, leninisme, dan stalinisme sebagai bagian yang penting bagi oposisi politiksaat ini.
                 Perbedaan Žižek antara peredaan rezim politik modern berasal dari Jacques Lacan yang disebut dengan “four disources[5] dimana yang dimaksud sebagai cara orang dapat mengatur hubungan sosial mereka.
·         S1, penanda Master dalam berbagai pembicaraan.
·         S2, merupakan semua penanda lain selain penanda master yang berfungsi untuk menyetabilkan.
·         Objek (a), Psikoanalisis mengajarkan bahwa sususnan untuk menjadi subjek politik, kita harus mengakses kesenangan yang tidak tercampur.
·         $, subjek kosong.
                 Selain Psikoanalisis, Lacan juga menentukan pembentukan “four discourse” oleh perbedaan pengaturan posisi keempat elemen dalam garis. Perbincangan yang mungkin muncul :
1.      Tempat dimana pesan dari percakapan ini diucapkan.
2.      Siapa yang mendapatkan pengaruh dari pesan.
3.      Produk terbentuk dari pertukaran.
4.      Tempat dimana percakapan berlangsung.
                 Untuk lebih memahami pembahasan dari perbedaan tipe rezim politik, Žižek membuat rumus atau cara perhitungan berdasarkan atas perhitungan menggunakan keempat elemen percakapan yang dibuat Lacan. Pembentukan parameter ini lebih digunakan untuk mengetahui antara rezim dan perhatian tradisional dengan dari dan berapa banyak aturan, bagaimana berakhir, dan berdasarkan tamabahan kriteria yaitu tempat, waktu, intuisi sejarah, dan kebudayaan yang pernah digunakan.
                 Žižek telah menyatakan ideologi logis dari rezim modern telah mencakup “quarter turn” dari skema milik Lacan mengenai ke empat percakapan dan jauh dari “Discourse of the Master” pre-modern. Žižek yakin akan pemahaman yang dimiliki oleh Lacan tentang rezim politik yang merupakan pengurangan akan ide dari bentuk tunggal “totalitarian” sebagai bentuk pemerintahan yang berlawanan dengan liberalisme.
Zizek memiliki 2 cara untuk menjelaskan mengenai pengurangan idenya[6]:
·         Pertama, Žižek  membedakan fasisme sebagai reaksi dari liberalism modern dan Stalinisme yang dianggap sebagai instansi politik.
·         Kedua, Žižek konsumerisme merupakan ideologi kelanjutan dari kapitalisme serta mewakili sebuah instansi daripada bentuk ekspresi dari “freedom” dan berlawanan dengan totalitarianisme stalinis.
Berkaitan dengan keyakinan Žižek bahwa pemahaman Lacanian memiliki hubungan dengan  rezim politik yang merusak gagasan tunggal tentang bentuk pemerintahan 'Totaliter' , yang sepenuhnya menentang liberalisme.[7]
Berdasarkan dengan hal tersebut, Žižek mencoba menjelaskannya melalui cara berikut:
Pertama, Žižek membedakan antara fasisme, yang menurutnya melibatkan upaya untuk reinstitute sebagai reaksi terhadap liberalisme modern, dan Stalinisme, yang merupakan politik Instansiasi dari Wacana Universitas.
• Kedua, Žižek berpendapat mengenai konsumerisme.
Di tengah kontradiktif di antara konsep Žižek dan Lacanian. Para pengamat teori yang membela 'totaliterisme' dikejutkan oleh kesamaan-kesamaan antara rezim fasis dan Stalinis. Friedrich dan Brzezinksi yang dijelaskan dalam enam aspek[8]:
a.       Ideologi pejabat finansial menuntut kepatuhan umum, mengajukan suatu keputusan akhir yang sempurna.
b.      Satu partai massa, hirarki terorganisir,  memiliki jalinan erat dengan birokrasi negara dan biasanya dipimpin oleh satu orang;
c.       Monopoli dan mengontrol angkatan bersenjata;
d.      Monopoli sarana komunikasi massa yang efektif;
e.       Sistem kontrol polisi teroristik;
f.       Pusat kontrol dan arah dari seluruh ekonomi (Friedrich dan Brzezinksi 1956).
Berbeda dengan politik lainnya yang fokus terhadap teori teks pada rezim-rezim, Žižek lebih fokus terhadap ekonomi dan kelembagaan elemen, dan spesifik mengenai kondisi sejarah. Žižek berfokus terutama pada enam komponen, yang kita identifikasi sebagai kontribusi utama Žižek mengenai teori politik: pemahaman Lacanian tentang ideologi.
Žižek memang mengklaim bahwa komunisme liberal adalah proyek selalu mencoba berhubungan dengan institusi pendididkan dalam hal ini Universitas. Sebagai contoh adalah  di Yugoslavia, pada saat rezim pemerintahan dipimpin oleh Marshal Tito, semua film yang akan diputarkan di publik haruslah diberikan kepada universitas terlebih dahulu untuk dievaluasi. Hal ini menguntungkan Žižek. Ia bisa menonton film Amerika dan Eropa Barat yang akan di putar di sinema setempat. Film-film tersebut nantinya akan menjadi ilustrasi yang menarik bagi filsafatnya di kemudian hari.[9]
Pendapat lain yang dikemukakan Žižek yaitu bahwa politik totaliterisme” pada saat ini tidak sama dengan penggunaannya pada saat rezim dimasa silam. Penjelasaannya menggunakan logika konsumerisme kontemporer. Dimana Žižek mencoba mengilustrasikanya dengan produk Coca-Cola dengan sloganya “Enjoy”.  Dalam contoh tersebut menjelaskan bahwa untuk mempengaruhi atau setiap orang  dapat dilakukan dengan promosi atau stimulasi.[10]
Lalu bagaimanakah arah pandangan Žižek mengenai demokrasi?  Terdapat tiga kunci penting untuk menentukan arah pemikiran Žižek tentang Demokrasi. Untuk kontribusi politik teori: teori ideologi, teori subjek yang mana tiga aspek tersebut merupakan adaptasi dari teori Lacanian. Žižek sangat kritis terhadap cara harapan Pencerahan ini untuk pengetahuan rasional memainkan peran lebih besar dalam masyarakat telah benar-benar dimainkan. Ini adalah salah satu poin dari sekian banyak pendekatan dan teori kontemporer lainnya yang disadari dapat menimbulkan polemik. Meskipun banyak menimbulkan polemik berkaitan dengan cara pandangnya tentang demokrasi dan konstruksi mengenai politik positif dan ideal.  Namun Žižek tetap memiliki tempat dalam pemahaman berkaitan dengan demokrasi radikal.
Selain itu, Žižek mengungkapkan bahwa demokrasi modern dimulai pada Revolusi Perancis yang ditandai dengan penjatuhan kekuasaan raja absolute. Pada saat itu, melihat raja sebagai inkarnasi langsung kekuasaan dan dinggap 'Ditunjuk oleh Tuhan”, yang memberikan jaminan harmoni sosial.  Revolusi Perancis ini telah memperkenalkan larangan baru ke dalam politik modern. Ini adalah larangan terhadap satu orang atau dalam kelompok yang mengaku memiliki kekuasaan lebih atau terkesan otoriter dalam lembaga eksekutif.
Dalam masyarakat pra-modern, bahwa pemimpin secara umum dianggap harus memiliki visi substantif tunggal bahwa bisa mengklaim sah dan memerintah. Revolusi liberal modern bukan ditempatkan batas waktu jabatan seseorang.  Namun, penguasa harus mengekspos diri untuk pemilihan dengan suara mayoritas terbanyak
Žižek juga mengungkapkan sebuah homologi struktural antara teori Cartesian dan pemahaman Lefortian berkaitan dengan demokrasi.   “Demokrasi tidak mencatat ras, gender, seksualitas, agama, kekayaan, etiket di meja makan, atau kebiasaan tidur warganya. Demokrasi hanya tertarik ketika segala karakteristik ini sudah dihilangkan..”[11] Dalam definisi inilah argumentasi Žižek tentang subjek menjadi pas. Dengan mengosongkan subyek Žižek justru hendak memberi tempat yang lebih besar bagi mentalitas demokratis, di mana setiap warga setara di hadapan sistem, hukum, dan tradisi. Pada titik ini ia memberikan analogi, subyek adalah sebagai suatu cara pandang terhadap dunia. Dalam bahasa Myers subyek adalah, “suatu tempat dimana dunia itu dilihat.”[12]
            Selain itu, terlepas dari konsep demokrasi yang telah diungkapkan.  Žižek berargumen bahwa terdapat sebuah pemisah yang permanen di dalam Keteraturan Simbolis (the Symbolic Order) dari sebuah resim politik itu sendiri. Terdapat sebuah sisi publik dari sebuah ideologi. Hal ini menuntut sebuah rasa identitas yang mengorbankan diri sendiri di dalam rezim tersebut. Contohnya, sebuah bangsa harus dapat mengedepankan rasa identitas atas bangsa itu sendiri, dan mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada.
            Žižek berargumen bahwa penemuan demokratis (democratic invention) pada level politik mengarah kepada mengosongkan semua hal dari resim-resim yang telah diproskripsikan tetapi secara diam-diam diperbolehkan. Kasus yang berlaku untuk Žižek selalu adalah "kampung halamannya" di Yugoslavia, yang terombang-ambing setelah pasca-perpecahan di tahun 1989 oleh perjuangan dari fantasi-fantasi ideologis yang berbasis etnis: bangsa Serbia menyalahkan bangsa Kroasia dan Muslim atas musibah yang menimpa mereka, sementara banga Kroasia dan Muslim menyalahkan bangsa Serbia, dan seterusnya. Žižek berkomentar bahwa apa yang sebuah solusi damai akan melibatkan di Eropa Timur bukanlah pemberdayaan dari masyarakat madani ("empowerment of civil society"), tetapi lebih banyak pengasingan: penerapan sebuah negara yang terasingkan yang akan mempertahankan jaraknya dari masyarakat madani yang akan formal dan kosong, yaitu yang tidak akan mewujudkan sebuah mimpi komunitas etnis tertentu (dan lantas akan menjaga agar ruang itu terbuka untuk mereka semua).
            Salah satu bagian dalam pembelaan Žižek terhadap demokrasi modern adalah antara penemuan demokratis dan teori moralnya Immanuel Kant.  Pada intinya adalah sebuah panggilan kepada subjek-subjek untuk melakukan tugas moral mereka (dengan cara mengikuti kepentingan kategoris dari hukum moral), dan tidak mementingkan betapa itu menyakiti mereka dan semua yang mereka cintai. Ini juga merupakan alasan mengapa Kant, mengikuti Jean-Jacques Rousseau, tergolong antara pemikir-pemikir pertama yang membenarkan ketidakaturan umum atas hukum yang tidak bermoral.
            Hukum moral untuk Kant juga adalah universal. Hukum tersebut bertujukan kepada kita semua secara adil dan tidak melihat ras, jenis kelamin, gender, kelas, dan sebagainya. Kant berargumen bahwa tidak ada sebuah kebenaran yang sejati (Sovereign Good): suatu hal atau cara hidup yang dapat menyatukan kebajikan dan kebahagiaan, yang terlalu sering ditantang di dalam hidup ini.[13] Atau, kalaupun ada suatu hal tersebut, kita tidak dapat mengaksesnya. (Žižek di sini juga mengikuti Lacan, dalam melihat sebuah persamaan antara kebenaran yang sejati dan hal maternal yang kita semua telah kehilangan akses sebagai harga yang harus dibayar dari peradaban.)  Alasan mengapa Kant, secara dramatis, berpikir bahwa kita tidak dapat meraih kebenaran yang sejati adalah karena ide bahwa manusia secara radikal adalah jahat (radically evil; persamaan dari Kant mengenai dosa yang pertama). Ini berarti bahwa kita telah selalu memilih kepentingan dan kebutuhan kita di atas hukum moral. Kant berpikir bahwa sifat jahat kita yang radikal ditunjukkan dengan betapa susahnya untuk kita dapat bertindak secara bermoral, melakukan kepada orang lain apa yang kita inginkan dilakukan kepada diri kita sendiri.
            Žižek menyatakan terdapat persamaan antara pemikiran Kant dan pemikiran Lefort mengenai pengkosongan dari sebuah tempat kekuasaan politis dalam jaman demokratis modern, yang bertentangan dengan upaya-upaya totalitarian secara substansial dan langsung untuk mencapai kebaikan yang tertinggi (Highest Good) melalui politik.
            Untuk waktu yang lama, Žižek mendukung teori bahwa politik melibatkan perjuangan di antara pembanding-pembanding utama yang relatif universal: pembanding-pembanding seperti demokrasi atau sosialisme, yang saling berkompetisi untuk mewakili kepentingan telah diterima bersama, dengan cara menjahit ulang (requilting) semua pembanding-pembanding politis yang lain. Namun, merajuk kepada pemikiran Lacan-psikoanalisis tentang subjektivitas dan yang di bawah sadar, Žižek selalu menolak untuk menerima bahwa persaingan politik antara pembanding-pembanding utama selalu terjadi pada dataran yang rata. Alasan untuk ini adalah antagonisme sosial.[14] yang merupakan salah satu aspek termenarik dari posisi Laclau dan Mouffe, berdasarkan atas kombinasi dari kategori Lacan mengenai apa yang nyata (the Real) dengan konsep dekonstruktif dari différance. Pemahaman Žižek atas subjektivitas tentu menambah kepada apa yang telah dinyatakan oleh Laclau dan Mouffe bahwa politik merupakan bisnis yang sangat bergairah karena ia sering kali bertumpu pada fantasi-fantasi bawah sadar mengenai lawan atau antagonis, dan pencurian atas kenikmatan (theft of enjoyment) yang tidak legal.
            Pendirian Laclau dan Mouffe biasanya dikatakan sebagai politik radikal-demokratis. Pendirian tersebut dikatakan sebagai radikal karena ia mengusulkan untuk belajar hidup dengan antagonisme, untuk memeluk dimensi-dimensi dari oposisi demokratis dan populer. Dalam bahasa Lacan, seperti telah diargumentasikan oleh Yannis Stavrakakis pada tahun 1999, ini berarti menolak fantasi ideologis mengenai keharmonisan sosial dan keinginan untuk menghapuskan ide yang bertentangan yang muncul daripadanya. Perspektif mengenai demokrasi tersebut melibatkan pembelaan atas pergerakan-pergerakan sosial yang menantang ideologi yang bertahan serta perjuangan politik dalam berbagai arena yang penting untuk politik demokratis.
            Di sisi yang lain, antagonisme sosial yang nyata terjadi hanya ketika salah satu dari para antagonis itu menemukan lokasi dari pembanding utamanya di dalam bidang dari transgresi-transgresi yang diproskripsikan yang telah ditolak oleh ideologi yang sedang berkuasa. Tentu saja, terdapat banyak dari transgresi-transgresi yang inheren dari ideologi yang sedang berkuasa yang secara moral sangat mengerikan: neo-rasisme, nasionalisme etnis, fundamentalisme agama, dan seterusnya.
            Namun, juga terdapat satu seri dari posisi-posisi politik universal yang telah tersampingkan oleh ideologi yang sedang berkuasa, yang salah direpresentasikan sebagai totaliter, dan diperlakukan sebagai Yahudi-Yahudi politik (political Jews), sebagai cara untuk menahan agar mereka hanya berada di pinggiran saja. Beberapa dari posisi-posisi ini mewakili sebuah bentuk yang diperdalam dan diperluas dari universalitas (deepened and expanded form of universality) sebagai kontras dengan pembanding utama yang sedang berkuasa - mereka, terutama sosialisme, adalah yang Žižek, paling tidak di dalam tulisan awalnya yang Kiri, akan mencoba untuk menarik perhatian kita.
            Žižek sendiri selalu berhati-hati dan ambigu ketika berjalan melintasi jalan yang secara radikal adalah demokratis. Argumen-argumen yang secara jelas adalah anti-demokratis bersampingan dengan momen-momen progresif tersebut, bahkan dalam tulisan-tulisan awalnya. Memahami bahwa sisi Kiri selalu berada pada posisi yang bawah dalam antagonisme sosial yang disebabkan oleh perjuangan politik antara Kiri dengan Kanan, Žižek juga sangat sadar bahwa terlalu gampang untuk para progresif dapat mengkritisi kapitalisme neoliberal dan politik liberal tanpa bertanggung jawab atas mengubah dunia. Masalahnya adalah sisi Kiri itu terlalu sayang dengan apa yang disebut sebagai narsisisme dari perjuangan yang kalah (narcissism of the Lost Cause): advokasi yang menyakitkan diri sendiri dari permintaan-permintaan tidak mungkin dan pergerakan-pergerakan yang terkalahkan, seakan-akan satu-satunya cara agar sisi Kiri dapat percaya kepada suatu universal yang politik adalah memastikan bahwa dia tidak lagi dapat terakutalisasikan dalam politik.  seperti telah dinyatakan oleh Žižek, permintaan yang histeris akan tuan yang baru. Sisi Kiri memborbardir sang tuan (liberalisme politik) dengan permintaan-permintaan yang tidak mungkin, dengan harapan bahwa sang tuan akan memperbaiki semuanya dan melarang para histeris (sisi Kiri) dari harus bertanggung jawab atas pengimplementasian dari solusi-solusi yang telah diusulkan untuk kondisi kacau balau yang sedang kita alami sekarang.
            Harus dikatakan bahwa momen-momen di mana Žižek mengambil alih perjuangan demokrasi radikal itu terpasangkan dari awal sekali oleh ketidakpastian-ketidakpastian yang sedang tumbuh. Khususnya, Žižek berandai: apa yang terjadi apabila demokrasi radikal hanyalah liberalisme yang terradikalisasi, yang menyisakan eksploitasi ekonomis yang tak terpisahkan dengan kapitalisme modern? Salah satu alasan untuk keraguan Žižek adalah karena, dalam semua hasil karyanya, Žižek belum pernah menghasilkan sebuah analisis yang berkelanjutan mengenai satu filsafat politik liberal. Memang, pemikiran Žižek mengenai demokrasi parlementer berada di dalam koordinat-koordinat atas doktrin-doktrin Marxis dari dunia kedua yang telah berlalu. Hal ini diekspresikan dalam pengulangan Žižek yang terus menerus mengenai kondensasi demokrasi liberal ketika yang dia maksud adalah pemerintahan yang representatif dengan ekonomi yang relatif liberal. Demokrasi yang formal, bourgeois, atau liberal, tentu saja bertentangan dengan demokrasi sesungguhnya (real democracy) atau kediktatoran proletar (dictatorship of the proletariat), sesuatu yang untuk Žižek awalnya berarti: totalitarianisme. Namun, saat kecurigaan-kecurigaannya bahwa demokrasi radikal melibatkan sebuah renaturalisasi kapitalisme meningkat, posisi dia mengenai totalitarianisme berbalik arah. Ketika pada tahun 2001, Laclau dapat menyadari bahwa dalam putaran balik Žižek yang revolusioner, dia tidak hanya mengadvokasikan penggulingan kapitalisme atas nama perjuangan kelas (class struggle), namun juga penghapusan resim-resim demokratis yang liberal dan penggantian mereka dengan kediktatoran proletar.




[1]  Žižek, Slavoj (2010).  Žižek and Politics: A Critical Introduction.  London: Edinburgh University Press, Hal 87.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid, hal 88-89.
[5] Žižek, Slavoj (2010).  Žižek and Politics: A Critical Introduction.  London: Edinburgh University Press, hal 90-91.
[6] Žižek, Slavoj (2010).  Žižek and Politics: A Critical Introduction.  London: Edinburgh University Press, hal 94.
[7] Ibid, hal 94.
[8]  Ibid, hal 94-95.
[9] Pada bagian ini saya mengikuti pemaparan Tony Myers, Slavoj Žižek, Routledge, London, 2003. Diakses pada dari  Slavoj Žižek _ Rumah Filsafat (The House of Philosophy).htm. pda selasa, 21 Februari 2011; pukul 20.38 WIB.
[10] Žižek, Slavoj (2010).  Žižek and Politics: A Critical Introduction.  London: Edinburgh University Press, hal 99.
[11] Žižek, Slavoj (2010).  Žižek and Politics: A Critical Introduction.  London: Edinburgh University Press.
[12] Pada bagian ini saya mengikuti pemaparan Tony Myers, Slavoj Žižek, Routledge, London, 2003. Diakses pada dari  Slavoj Žižek _ Rumah Filsafat (The House of Philosophy).htm. pda selasa, 21 Februari 2011; pukul 20.38 WIB.
[13] Žižek, Slavoj (2010).  Žižek and Politics: A Critical Introduction.  London: Edinburgh University Press.
[14] Žižek, Slavoj (2010).  Žižek and Politics: A Critical Introduction.  London: Edinburgh University Press.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar