Sabtu, 06 Oktober 2012

TEORI-TEORI NASIONALISME*)



Negara adalah cermin masyarakatnya. Apa pun yang terjadi dalam atau pada negara atau apapun yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh negara akan secara otomatis mengena pada rakyatnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Negara menempati posisi yang sangat penting dan memainkan peran yang menentukan dalam pengaturan kehidupan dan kegiatan bersama yang terjadi di wilayah atau teritori yang berada di bawah otoritasnya. Bila sebuah negara mempunyai organisasi pemerintahan yang bersih, efektif, dan penuh semangat pelayanan maka rakyat akan merasa tenteram dalam menjalankan kegiatan sehari-hari dan kehidupan dalam masyarakat akan berjalan dengan aman dan baik. Namun, ketika negara dengan aparat pemerintahnya yang korup, tidak efektif dan tidak mampu lagi memberikan pelayanan yang baik dan kesejahteraan bagi masyarakatnya, bagaimana masyarakat mengidentifikasikan diri terhadap masyarakat yang berada di luar negaranya?
Ada banyak pandangan tentang penger­tian dan asal-usul nasionalisme. Berikut ini dikemukakan beberapa corak yang dipandang perlu. Dalam arti yang paling sederhana, Gooch menegaskan bahwa nasional­isme merupakan kesadaran diri suatu bang­sa.[1] la telah menjadi doktrin utama sejak akhir abad ke-18,[2] sedangkan dalam arti umum dan netral, menurut Greenfeld dan Chirot istilah nasionalisme mengacu pada seperangkat gagasan dan sentimen yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional yang sering hadir bersama dengan berbagai identitas lain seperti okupasi, agama, suku, linguistik, teritorial, kelas, gender, dan Iain-lain.[3]
Konsep nasionalisme bersifat ambivalen, sebagai kekuatan konservatif dan sekaligus sebagai faktor revolusioner.[4] Dilihat dari perspektif lain, nasionalisme merupakan tanggapan terhadap kekuatan yang datang dari Barat,[5] terutama rakyat yang merasa dirugikan secara budaya.[6] Sejarah Eropa sendiri sejak Revolusi Perancis adalah sejarah timbul dan berkembangnya nasionalisme politik.[7] Ini bukan berarti bahwa di Asia belum ada bangsa dan kesadaran kebangsaan. Di dalam ajaran Buddha, Islam, dan Hindu telah terdapat unsur bangsa.[8]
Menurut Kedourie nasionalisme adalah doktrin yang berpretensi untuk memberikan satu kriteria dalam menentukan unit penduduk yang ingin menikmati satu pemerintahan eksklusif bagi dirinya, untuk melegitimasi pelaksanaan kekuasaan dalam negara, dan untuk memberikan hak mengorganisasikan suatu masyarakat negara. Dengan kata lain, doktrin ini beranggapan bahwa secara alamiah, komunitas dibagi menjadi bangsa-bangsa, bahwa bangsa dikenal mempunyai karakteristik khusus yang dapat ditentukan; dan bahwa corak pemerintahan yang sah hanyalah self-government.[9] Cakupan definisi ini dapat dibandingkan dengan yang disajikan oleh Nagengast. Bangsa dan nasionalisme, demikian menurut Nagengast, adalah istilah modernitas yang ada di Eropa dan Amerika Utara. la diturunkan dari alam pencerahan kondisi rasionalisme, perluasan penjajahan, peperangan agama, dan kapitalisme liberal yang berfungsi sebagai pembenaran politik dan legitimasi politik untuk konsep penyatuan teritorial, politik, dan budaya yang dipaksakan oleh hegemoni pemikiran dan organisasi liberal.[10]
Di lain pihak, Smith berpendapat bahwa nasionalisme adalah satu gerakan ideologis untuk meraih dan memelihara otonomi, kohesi dan individuality bagi satu kelompok sosial tertentu yang diakui oleh beberapa anggotanya untuk membentuk atau menen­tukan satu bangsa yang sesungguhnya atau yang berupa potensi saja,[11] sedangkan menurut Minogue, nasionalisme merupakan gerakan politik untuk memperoleh dan mempertahankan integritas politik, yakni gerakan politik yang didasarkan pada perasaan tidak puas sekelompok orang menentang orang asing.[12] Dengan cara pandang demikian, Smith mengidentifikasi adanya dua jalan menuju nasionalisme. Pertama, route gradualis: patriotisme negara, kolonisasi, dan provinsialisme. Kedua, "route" nasionalis: nasionalis­me etnis, nasionalisme teritorial, mobilisasi, komunitas yang berbudaya dan surrogate agama.[13]
Berbeda dengan pandangan banyak pengamat yang menganggap nasionalisme ada­lah gejala politik, Plamenatz justru meletakkan nasionalisme dalam kerangka budaya, walaupun ia sering mengambil bentuk poli­tik. Kecuali itu, nasionalisme terkait dengan, tetapi berbeda dari patriotisme dan kesadar­an nasional, bahkan bertolak belakang de­ngan patriotisme.[14]
Pandangan lain diutarakan oleh Snyder, bahwa nasionalisme merupakan satu emosi yang kuat yang telah mendominasi pikiran dan tindakan politik kebanyakan rakyat se­jak Revolusi Perancis. Ia tidak bersifat alamiah, melainkan merupakan satu gejala sejarah, yang timbul sebagai tanggapan ter­hadap kondisi politik, ekonomi dan sosial tertentu.[15] Atau seperti dikemukakan Gellner, nasionalisme terutama merupakan satu prinsip politik, yakni teori legitimasi politik yang memerlukan batas etnis yang tidak melintasi politik. Dengan kata Iain, nasionalisme adalah satu perjuangan untuk membuat budaya dan "kepolitikan" menjadi bersesuaian. Lebih dari itu, nasio­nalisme adalah pemaksaan umum satu bu­daya tinggi kehidupan masyarakat, di mana budaya rendah sebelumnya telah mengang-kat kehidupan mayoritas dan dalam bebera-pa kasus keseluruhan penduduk.[16]
Carlton J. Hayes, seperti dikutip Snyder, membedakan empat arti nasionalisme:
a.      Sebagai satu proses sejarah aktual, yaitu proses sejarah pembentukan nasionalitas sebagai unit-unit politik, pembentukan suku dan imperium kelembagaan negara nasional modern.
b.      Sebagai satu teori, prinsip atau implikasi ideal dalam proses sejarah aktual.
c.       Nasionalisme menaruh kepedulian terhadap kegiatan-kegiatan politik, seperti kegiatan partai politik tertentu, pengga-bungan proses historis dan satu teori politik.
d.      Sebagai satu sentimen, yaitu menunjukkan keadaan pikiran di antara satu nasionalitas.[17]

Gagasan yang terkait dengan nasionali­tas ini meliputi kepribadian dan karakter na­sional, kedaulatan dan self-determinasi na­sional, misi dan tanggung jawab nasional.[18]
Arti penting nasionalisme menurut Mazzini, adalah sebagai jembatan persaudaraan manusia,[19] yang di dalamnya terkandung revolusi sosial, intelektual, dan moral.[20] Dan dalam era kolonial, nasionalisme mempunyai akar demokratis dibandingkan dengan negara yang tidak terjajah.[21] Kecuali itu, nasionalisme merupakan satu ideologi untuk generasi muda.[22]
Menurut sudut pandang ilmuwan sosial dapat digolongkan menjadi dua sudut peninjauan, yakni secara objektif dan secara subjektif.[23]
Jika ditinjau secara objektif maka nasionalisme dikaitkan dengan suatu kenyataan objektif. Sebagai faktor objektif yang paling jelas dan lazim dikemukakan, misalnya aspek atau faktor ras, bahasa, agama, peradaban (seperti apa yang dikemukakan oleh para sarjana Anglo Saxon disebut sebagai “Civilization”), wilayah, negara, dan kewarganegaraan. Meskipun demikian, pandangan seperti ini senantiasa tidak terlepas dari kritikan, mereka berpendapat bahwa nasionalisme tidak selalu ditentukan faktor objektif semata-mata. Bahwa agama, ras, dan peradaban, tidak menentukan ada tidaknya nasionalisme itu. Sebagai contoh, kita ambil misalnya faktor bahasa, sebagai faktor objektif. Bangsa Swiss, merupakan salah satu suku bangsa yang tertua di Eropa dengan menggunakan empat bahasa resmi, yaitu bahasa Jerman, Perancis, Italia, dan Rhacto-Romantik. Bangsa Kanada, menggunakan dua bahasa resmi, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Perancis. Agamapun, tidak menentukan ada tidaknya nasionalisme dari sebuah bangsa itu. Lihat saja misalnya bangsa Kanada yang terpisah ke dalam dua suku bangsa, yakni yang masing-masing beragama Protestan dan Katolik. Di Indonesia, juga dikenal sebagai bangsa yang mengalami hal serupa, yakni sebagai bangsa yang memiliki multiagama.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor objektif tersebut merupakan faktor-faktor kausatif yang menentukan ada tidaknya suatu nasionalisme yang secara khusus. Jadi, faktor-faktor objektif tersebut tidaklah merupakan faktor yang bersifat konstan, yang membentuk nasionalisme, akan tetapi lebih merupakan kondisi-kondisi yang memberikan corak secara khusus pada nasionalisme sebagai suatu bangsa. Meskipun demikian, sebagai hal yang pokok dan fundamental dalam pemahaman kita tentang nasionalisme adalah adanya kesadaran yang tinggi atau dengan perkataan lain, nasionalisme merupakan fomalisasi ataupun rasionalisasi daripada kesadaran nasional dan kesadaran nasional itulah yang membentuk bangsa (natie), dalam pengertian politik berarti sebagai negara nasional (nation state).
Definisi-definisi objektif tersebut, sudah sejak lama oleh Ernest Renan, dalam suatu pamphlet yang dikenal dengan ungkapan Apakah Bangsa itu? Pada tahun 1882. Menurut pandangan Ernest Renan bahwa bangsa itu tidak selalu ditentukan oleh ras, agama, bahasa, negara, peradaban, atau kepentingan ekonomi. Ide nasional, didasarkan atas sejarah yang gilang-gemilang, adanya pahlawan-pahlawan bangsa dan negara yang sungguh-sungguh mengabdi untuk nusa dan bangsa. Bangsa (natie) terutama dipersatukan oleh kesukaran-kesukaran, kesulitan-kesulitan (penderitaan-penderitaan) yang dialami secara bersama. Oleh karena itu, nasionalisme merupakan rasa kesadaran yang kuat dengan berlandaskan atas kesadaran akan pengorbanan yang pernah diderita bersama-sama dalam sejarah dan atas kemauan menderita dalam hal-hal serupa itu di masa depan.
Kemudian, jika ditinjau secara subjektif, nasiolisme adalah suatu gerakan sosial atau sebuah aliran rohaniah yang mempersatukan rakyat ke dalam suatu “natie” yang membangkitkan massa ke dalam keadaan politik dan sosial yang aktif. Dengan nasionalisme seperti ini maka negara akan menjadi milik seluruh rakyat, bukan lagi menjadi milik seorang Raja, atau milik kaum bangsawan, akan tetapi menjadi milik rakyat sebagai keseluruhan dan rakyat dalam hubungan ini akan menjadi suatu “natie”. Oleh karena itu, nasionalisme dapat dipandang sebagai landasan ideal dari setiap negara nasional.
Selanjutnya, berdasarkan identifikasi diri pada sub-bangsa dan negara-bangsa maka dapat dibedakan dua macam nasionalisme. Nasionalisme atau rasa kebangsaan ini dibedakan menurut level kebangsaan: (1) nasionalisme etnis (Etnhic nastionalism), yaitu Nasionalisme yang merupakan ikatan kebangsaan yang dibangun berdasarkan persamaan bahasa, kebudayaan, dan darah keturunan kelompok etnis tertentu, misalnya: Catalan, Waloon, Wales, Aceh. Sedangkan (2) Nasionaliisme sipil (Civic nationalism), merupakan kebangsaan yang dibangun lewat adanya pengakuan dan kesetiaan pada otoritas konstitusional dan kerangka perpolitikan dalam sebuah negara, selain sejarah yang sama sebagai negara-bangsa dan digunakannya bahasa yang sama oleh semua kelompok bangsa-bangsa. Atau dengan kata lain, ikatan yang dibangun nasionalisme ini didasarkan atas kewarganengaraan di dalam sebuah wilayah teritorial dan batas-batas yang berlaku bagi negara-bangsa. Sebagai contoh yang relevan adalah nasionalisme yang tumbuh di antara rakyat negara-bangsa Spanyol, Belgia, Inggris, atau Indonesia.[24]
Selanjutnya Ignatieff membedakan antara nasionalisme sipil dengan Nasionalisme etnis dengan memberikan label (cap) liberal atau illiberal (tidak liberal) pada kedua nasionalisme tersebut. Nasionalisme etnis dicap sebagai nasionalisme yang illiberal karena cara merumuskan keanggotaan nasionalnya mengikuti garis persamaan bahasa, budaya, atau darah keturunan etnis, sedangkan nasionalisme sipil dicap sebagai nasionalisme yang liberal karena nasionalisme sipil beroperasi dalam kerangka demokrasi, penetapan keanggotaan nasional secara murni dilakukan mengikuti prinsip-prinsip demokrasi.[25]
Dalam tulisan lain disebutkan bahwa civic nationalism atau nasionalisme sipil adalah ketika sebuah pemerintahan berdiri bukan semata-mata pada basis kesamaan sejarah, etnisitas atau bahasa, tapi ide bahwa negara dan sekelompok masyarakat bersatu di bawah perangkat hak dan kewajiban yang disediakan pemerintah. Dalam kondisionalitas yang seperti itu, mustahil jika hukum dilandaslcan pada etnisitas, karena perbedaan yang nyata antar kebudayaan dapat dengan mudah dilihat. Yang dapat dilakukan kemudian adalah menyusun perangkat kewarganegaraan dan norma yang berdasarkan identitas dan kesepakatan bersama. Sebuah faktor pemersatu (unifying factor) mau tidak mau harus diciptakan agar negara dapat bertahan dan tidak terpecah-belah.
Sementara itu, ethnic nationalism atau nasionalisme etnis dapat kita temukan di negara-negara dimana terdapat latar belakang sejarah dan identitas yang hampir persis. Dalam kasus seperti ini, pembentukan negara terjadi secara ideal dan pemerintahannya dijalankan dengan cara yang demikian pula. Dengan adanya kesamaan norma atau etnisitas yang kuat, maka hukum yang mengatur tata negara juga dapat disesuaikan. Prancis, misalnya, menjadikan sekularisme yang sebagai identitas Prancis modern terbukti dengan hukum yang melarang simbol keagamaan di ruang publik.[26]
Menurut kami, nasionalisme etnis memiliki durabilitas yang jauh lebih lama karena sifatnya yang netral dan alamiah. Meskipun demikian, praktiknya tidak semudah itu, dan dalam kasus ini nasionalisme sipil memiliki kemungkinan implementatif yang jauh lebih besar. Perbedaan utama antara nasionalisme sipil dan etnis dapat dilihat sebagai berikut:[27]
Nasionalisme Sipil
Nasionalisme Etnis
Contoh
Hukum
Kesamaan asal (darah)
Kewarganegaraan
Pilihan
Warisan
"Dilahirkan dalam"
Ikatan rasional
Ikatan emosional
Pengadilan, bendera
Kesatuan berdasarkan konsensus
Kesatuan berdasarkan askripsi
Town hall, tribe
Pluralisme demokratis
Mayoritas etnis berkuasa
CA, Singapura
Kebebasan
Persaudaraan
ALCU, kampung halaman
Individu membentuk bangsa
Bangsa membentuk individu
Mitos pembentukan

         Nasionalisme sipil dipercaya Ignatieff untuk lebih realistis sebagai sumber kepemilikan daripada nasionalisme etnis. Etnisitas yang sama memang akan membuat sekelompok orang bersatu, tetapi menjadi lemah terhadap perbedaan-perbedaan kecil yang memungkinkan perpecahan yang lebih besar. Nasionalisme sipil mengajukan kerangka berpikir dalam ruang rapat, partisipasi, serta kemungkinan legislatif untuk menyatukan perpecahan. Meskipun demikian, Ignatieff masih mengakui bahwa 'bahasa primer' dunia hari ini masih berupa ethnic nation. Di bawah ini terdapat beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan nasionalisme.
a.      Nasionalisme Etnis di Nigeria[28]
M. A. O. Alulo memiliki pendekatan lain dalam membedakan nasionalisme etnis dan nasionalisme sipil. Menurutnya, nasionalisme etnis merupakan sebuah fenomena sosial yang kompleks. Di satu sisi, ia dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan mengenai superioritas dan perbedaan antara sebuah kelompok etnis serta melahirkan keinginan membela kepentingannya di atas hal-hal lainnya. Pada saat yang bersamaan, istilah tersebut juga mengacu kepada identifikasi individu terhadap kelompok etnis tertentu, kebudayaan, kepentingan, serta tujuannya. Etnosentrisme lah yang memutuskan kesetiaan dari hal-hal lain kecuali satu kelompok etnis.
Penjelasan terhadap ini diberikan oleh Hofstede (1994) yang mengatakan bahwa setiap manusia memiliki tendensi kuat untuk memperjuangkan etnis atau bahasanya sendiri sampai mendapatkan kemerdekaan atau setidaknya pengakuan terhadap identitas mereka. Alih-alih penurunan, keecenderungan ini telah menunjukkan peningkatan sejak abad ke-20 dimulai.
Stavenhagen (1994) kemudian berargumen bahwa nasionalisme etnis menjadi sesuatu yang umum dalam masyarakat plural dan dapat dijelaskan dalam dua school ofthoughts yang berbeda: primordialis dan instrumentalis. Kelompok pertama melihat adanya 'primordial bond' yang menentukan identitas personal mereka dan secara alamiah membentuk kelompok yang lebih matang dari bangsa atau sistem kelas modern. Para instrumentalis, sementara itu, melihat identitas etnis sebagai sebuah langkah bagi masyarakat—khususnya para pemimpin—untuk mengejar tujuannya sendiri, seperti mobilisasi dan manipulasi kelompok untuk tujuan politis.
Dalam opini Lijiphart (1984), seluruh bangsa multietnis "...profoundly divided along religious, ideological, linguistic, cultural, ethnic or racial lies." Apa yang disebutnya sebagai 'kebohongan' dijelaskan oleh para antropolog modern sebagai instrumen stale-building. Dia juga percaya bahwa dalam masyarakat yang tcrdiri dari berbagai sub-masyarakat dengan kepentingan dan tujuan yang berbeda, fleksibilitas yang dibutuhkan untuk sebuah demokrasi modern tidak mungkin tercipta. Dalam situasi yang seperti ini, penggunaan aturan mayoritas bukan saja menjadi tidak demokratis tapi juga berbahaya karena akan terjadi eksklusi terhadap kelompok minoritas yang mungkin berujung pada usaha melawan pemerintahan.
Dalam kasus Nigeria dan berbagai negara Afrika serupa, terdapat pola berulang sehubungan dengan masalah nasionalisme etnis di negaranya—antara lain kesetiaan, komitmen, dan patriotisme dari warga negaranya. Menurut Ekeh (1975), akar historis dari krisis tersebut berdasar pada fakta bahwa negara-negara Afrika tidak lahir dari dalam masyarakatnya (seperti kebanyakan negara Eropa Barat), tetapi dari luar—sebagai sebuah imposisi dari otoritas kolonial. Proses penciptaan struktur asing ini berbasis pada formasi politik yang bersifat artifisial dan menyatukan sub-nasionalisme yang berbeda di dalam teritori tersebut secara semu, ketika sebenarnya kelompok tersebut masih merupakan dua publik yang berbeda.
Publik yang pertama terisi dari pemerintah dan institusi modern yang sifatnya instrumental bagi negara—militer, birokrasi, pengadilan, partai politik dan sebagainya. Publik kedua adalah masyarakat primordial yang terbentuk secara sosial selama berpuluh-puluh tahun, termasuk melalui proses colonial yang tumbuh untuk memuaskan peimintaan personal dan kelompok yang tidak dapat dipenuhi pemerintah kolonial maupun pos-kolonial. Publik ini yang kemudian disebut Joseph (1987) sebagai nasionalisme etnis dan menjadi asal dari politik prebedal di Nigeria. Prebendalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai proses untuk menggunakan posisi pemerintahan untuk mencapai kepentingan personal, parokial, maupun kelompok—spektrum ekstrim dari pelaksanaan politik identitas. Sayangnya, dualitas ini yang kemudian menjadi sumber masalah dan ketidakstabilan politik di Nigeria.
b.      Asia Tengah, dari Nasionalisme Etnis Menuju Sipil[29]
Sehubungan dengan hal tersebut, Vladimir Fedorenko menyebutkan bagaimana nasionalisme sipil, jika berhasil diadopsi di Asia Tengah, bukan hanya berpotensi untuk menyatukan rakyat secara domestik tetapi lebih jauh berkontribusi terhadap hubungan yang baik antara negara-negara tetangga. Menjadi penting untuk diperhatikan bahwa masalah yang berkaitan dengan identitas nasional tidak perlu dimulai dengan peraturan dan pengaturan hukum serta peraturan de jure. Hampir seluruh konstitusi nasional menyebutkan 'kewarganegaraan' atau citizenship sebagai 'democratic' dan 'pluralistic.'
Negara-negara Asia Tengah telah menandatangani konstitusi yang melindungi warga dari segala jenis diskriminasi ras, bahasa, gender, agama, kelompok politik, dan sebagainya. Sayangnya, situasi de facto justru berlawanan dengan fakta tersebut, dimana pembentukan mitos nasionai yang berbasis etnisitas tidak hanya meningkatkan persepsi kepemilikan dan sense of pride, tapi juga persepsi bahwa minoritas lain tidak harus dimiliki oleh bangsa ini. Persepsinya memang tidak selalu dapat dilihat secara formal karena melawan hukum, namun dalam relasi sehari-hari, perpecahan etnis dapat kita perhatikan dan memang memiliki efek negatif terhadap relasi antarbangsa dalam negara tersebut. Dengan kata lain, masalahnya tidak hanya terdapat sebagai sebuah norma legal tapi juga praktek politik dan publik.
Nasionalisme sipil berasumsi bahwa identitas kolektif masyarakat dan kedaulatan politik berdasarkan kepada kaitannya dengan nilai-nilai politik ataupun teritori tertentu. Tidak seperti nasionalisme etnis yang mendahulukan kelompok etnis tertentu dalam masyarakat, nasionalisme sipil mengakomodasi seluruh populasi yang tinggal dalam sebuah negara.
Menurut Michael Ignatieff, nasionalisme sipil ".. .maintains that a nation should be composed of all people—regardless of race, color, creed, gender, language or ethnicity—who subscribe to the nation's political creed. n Tipe nasionalisme ini disebut 'sipil' antara lain karena 'bangsa' dilihat sebagai sebuah konsep egaliter dimana "...community of equal, rights-bearing citizens united in patriotic attachment to a shared set of political practices and values." Hal ini kemudian menandai sifatnya yang demokratis. Nasionalisme sipil dapat dikatakan demokratis ketika: 1) setiap warganegara diakui kedaulatannya, 2) terdapat klaim terhadap hak self-governing serta 3) hak warga negaranya tetap dilindungi di negara lain.
Identitas nasional harus mewakili aspirasi utama dari populasi dan disetujui oleh seluruh lapisan masyarakat—jika tidak, maka tujuan bersama tidak akan terbentuk dan konflik bisa bermunculan. Hal ini yang harus disadari oleh para negarawan di Asia Tengah. Nasionalisme etnis menciptakan batasan antara in-group dan out-group bukan hanya di level domestik tapi juga internasional—sehingga menimbulkan perpecahan di dalam dan antar negara. Karena itu, etnosentrisme Asia Tengah harus digeser kepada nasionalisme sipil yang berbasis pada nilai-nilai dan 'kampung halaman' yang sama. Daripada memberikan tekanan pada akar historis, lebih baik pencapaian kontemporer dan rencana masa depan dari negara dijadikan sumber solidaritas bangsa.
c.       Peran Bahasa dalam Nasionalisme Sipil Turki[30]
Menurut Jurgen Habermas, kedua nosi nasionalisme tersebut tetap berdasar pada apa yang dia sebut sebagai 'logika komunikatif dari sebuah kelompok masyarakat—terutama nasionalisme sipil. Peran bahasa, menurutnya, menjadi instrumen utama yang sangat penting bagi terbentuknya nasionalisme, pelaksanaan politik identitas, maupun kewarganegaraan. Sistem demokrasi secara spesifik memerlukan sebuah bahasa bersama yang dapat bukan saja memfasilitasi proses politiknya, tapi juga secara signifikan mempengaruhi hasil yang mungkin dicapai. Ruang publik terbuka (atau lebih tepat 'dibuka') dengan manusia yang membentuk jaringan-jaringan hubungan sosial serta intersubjektivitas yang berangkat dari bahasa dan 'logika komunikasi' yang sebelumnya disebutkan. Komunikasi dikatakan terdiri dari usaha menyetujui sebuah fakta atau kejadian di dunia—diskusi sendiri dikaitkan dengan pertukaran alasan yang menilai validitas sebuah klaim secara implisit maupun eksplisit dan dihadirkan oleh sebuah interlocutor. Hal ini disadari oleh Ataturk dalam usahanya untuk menciptakan negara 'Turki' yang berbasis sipil dan terlepas dari sifat-sifat keetnisan yang selama ini digunakan pada masa Ottoman. Ataturk 'menciptakan' bahasa Turki untuk memastikan berlangsungnya proses politik maupun sosial dengan ideal yang kemudian menjadi basis bagi hak dan kewajiban warganegara adrninistratif yang diatur oleh pemerintahan Turki.
d.      Indonesia[31]
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara multietnis yang paling problematis sejak pertama kali didirikan. Ide bahwa Indonesia merupakan sebuah teritori yang kita ketahui hari ini tidak ada pada masa pra-kolonial, sampai akhirnya Belanda mematok Sabang sampai Merauke sebagai wilayah koloninya sebagai sebuah unit tunggal. Sayangnya, meskipun secara administratif 'lndonesia' ditangani dengan baik, kesetiaan dan relasi etnis sama sekali tidak diperhatikan— bahkan dipecahbelah demi kepentingan dagang. Jika hari ini kita masih dapat merasakan beberapa konflik sosial dan etnis, maka penyebabnya dapat ditarik sejauh masa kekuasaan kolonial Belanda.
Seperti pada kasus Turki, bahasa Indonesia juga menjadi salah satu instrumen utama untuk menyatukan bangsa yang dibayangkan para pendiri negara ini.[32] Usaha jangka panjang menuju penciptaan 'bangsa Indonesia' dimulai dari perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dan—dari situ—terciptalah berbagai cita-cita mulia Indonesia sebagai sebuah satuan masyarakat. Sayangnya, nasionalisme etnis Jawa pada awal perkembangan negara—yang dijustifikasi oleh jumlahnya yang memang mayoritas—menjadi salah satu kelemahan usaha penyatuan Bhineka Tunggal Ika ini. Politik Indonesia yang selama ini dikontrol orang Jawa (pada masa Orde Baru) tidak mentoleransi perbedaan mendasar, non-konformitas, serta alternatif regional. Ketidakinginan Jakarta pada masa itu untuk mengabulkan hak politik dan ekonomi minoritas etnis memperbesar tensi dan kekerasan antar-etnis yang sudah mulai berlangsung bahkan sejak tahun 1945. Hasilnya, kebanyakan warga Indonesia masih sering mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari etnis tersebut daripada dirinya sebagai 'bangsa Indonesia'.


*)      Tulisan dibuat dalam rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Nasionalisme dan Resolusi Konflik Etnis yang disampaikan oleh Prof. Dr. Burhan Djabier Magenda, M.A.
[1]     L.L. Snyder, The Dynamic of Nationalism, (Princeton: D. Van Nostrand Co. Inc., 1964), hlm. 25.
[2]     E. Kedourie, Nationalism, (London: Hutchinson University Library, 1996), hlm. 10.
[3]     L. Greenfeld and D. Chirot, “Nationalism and Agression”, dalam Theory and Society 23 (1), 1994: 79–130.
[4]     K. R. Minogue, Nationalism, (London: Methuen, 1967), hlm. 21.
[5]     R. Emerson, From Empire to Nation, (Cambridge: Harvard University Press, 1967), hlm. 188. Lihat juga H. Kohn, The Idea of Nationalism, (Toronto: Collier Books, 1969), hlm. 11–183.
[6]     Plamenatz, J. Nationalism: The Nature and Evalution of an Idea, sebagaimana dikutip oleh M. Rusli Karim, “Arti dan Keberadaan Nasionalisme”, dalam Analisis CSIS, 1996-2, hlm. 96.
[7]     Ibid.
[8]  W. Gungwu, Nationalism in Asia, dalam E. Kamenka (ed.), Nationalism: The Nature and Evolution, (Canberra: ANU Press, 1975).
[9]     E. Kedourie, op. cit., hlm. 9.
[10]    C. Nagengast, “Violence, Terror, and the Crisis of the State”, dalam Annual Review of Anthropology, 1994, 23: 109–136.
[11]    A. D. Smith, Nationalist Movement, (London: The Macmillan Press, 1979), hlm. 1.
[12]    K. R. Minogue, op. cit., hlm. 25.
[13]    A. D. Smith, loc. cit.
[14]    Plamenatz, J., loc. cit.
[15]    L.L. Snyder, op. cit., hlm. 23.
[16]    E. Gellner, Nations and Nationalism, (Ithaca: Cornell University Press, 1983), hlm. 1, 48–49.
[17]    L.L. Snyder, op. cit., hlm. 24.
[18]    F. Hertz, Nationality in History and Politics, (London: Routledge and Kegan Paul, 1966), hlm. 233.
[19]    R. Emerson, op. cit., hlm. 387.
[20]    Plamenatz, J., op. cit., hlm. 36.
[21]    R. Emerson, op. cit., hlm. 238.
[22]    K. R. Minogue, op. cit., hlm. 8.
[23]    F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Dhiwantara, 1967), hlm. 109.
[24]    Nuri Soeseno, Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu-isu Kontemporer, (Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2010), hlm. 102.
[25]    Ibid., hlm. 106.
[26]  Lihat Ethnic vs. Civic Nationalism", dalam http://www.debate.Org/forums/politics/topic/2186/, diakses 21 September 2012, pkl. 11.33 WIB.
[27] Michael Ignatieff, “Civic Nationalism & Ethnic Nationalism”, dalam https://www.msu.edu/user/hillrr/ 161lec16.htm, diakses 21 September 2012, pkl. 11.44 WIB.
[28]    M. A. O. Alulo, "Ethnic Nationalism and the Nigerian Democratic Experience in the Fourth Republic" dalam Anthropologist, 5 (4), Kamla-Raj, 2003: 253–259, lihat http://www.krepublishers.com/02-Journals/T-Anth/Anth-05-0-000-000-2003-Web/Anth-05-4-217-303-2003-Abst-PDF/Anth-05-4-253-259-2003-106-Aluko-M-A-O/Anth-05-4-253-259-2003-106-Aluko-M-A-O-Text.pdf, diakses 21 September 2012, pkl. 13.03 WIB.
[29]    Vladimir Fedorenko, Central Asia: From Ethnic To Civic Nationalism, (Washington D.C.: Rethink Institute, 2012), hlm. 21–22.
[30]    Donald Ipperciel, "Constitutional Democracy And Civic Nationalism," dalam Nations And Nationalism 13 (3), (2007), hlm. 395–416.
[31]     Julius Cesar I. Trajano, "Ethnic Nationalism and Separatism in West Papua, Indonesia" dalam Journal of Peace, Conflict, and Development, (16 November 2010), hlm. 13–14. Lihat http://www.peacestudiesjournal.org.uk/dl/iss_16_art_2.pdf, diakses 21 September 2012, pkl. 13.13 WIB.
[32]    Damien Kingsbury, "Diversity in Unity," dalam Damien Kingsbury dan Harry Aveling (eds.), Autonomy and Disintegration in Indonesia, (London: RoutledgeCurzon, 2004), hlm. 111.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar