Minggu, 12 Mei 2013

Reading Comment: “Kritik Terhadap Perspektif Neo-Institusionalis dan Desentralisasi di Indonesia”

oleh: Alpiadi Prawiraningrat

Salah satu tulisan dalam buku "Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto". Vedi R. Hadiz memfokuskan analisanya terhadap persoalan yang berkaitan dengan proses desentralisasi khususnya di Indonesia dengan menyertakan faktor-faktor kekuasaan, persaingan dan kepentingan, yang berusaha membantah penjelasan kaum Neo-institusionalis yang cenderung bergerak di wilayah imajiner yang bebas politik dan bebas nilai agar masuk akal. Lebih jauh, penulis memaparkan upaya alternatif untuk memahami kegagalan desentralisasi dalam mencapai tujuan yang diharapkanya.  Berdasarkan pengalaman yang ada di Indonesia dan menghubungkannya dengan gagasan lembaga-lembaga demokrasi dapat direbut dan dirampas oleh serangkaian kepentingan uang dalam prosesnya boleh jadi justru menyisihkan mereka yang mendukung pandangan dunia ‘rasionalis-teknokratis’. 
Desentralisasi yang dipahami sebagai pemindahan kekuasaan politik, fiskal, dan administratif dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan merupakan bagian dari wacana dan teori pembangunan, telah menjadi sebuah fenomena global dan regional serta menjadi salah satu tema dalam kerangka pembangunan kaum neo-institusionalis yang diproduksi dari organisasi pembangunan dunia seperti, Bank Dunia dan USAID (United States Aid for International Development).
Desentralisasi menjadi isu yang menarik dibicarakan dalam literatur pembangunan Neo-Institusionalis sebagai aliran pemikiran pembangunan dari berbagai macam institusi (pasar, keluarga, hukum, dan sebagainya) berdasarkan asumsi-asumsi teori ekonomi neoliberal dengan fokus perhatiannya pada hal desentralisasi dan demokrasi serta hubungannya, partisipasi, pertanggungjawaban, dan pemeliharaan civil society atau modal sosial dengan menekankan unsur pilihan, maksudnya adalah bahwa konsep desentralisasi bagi negara-negara atau daerah tertentu dapat disesuaikan berdasarkan kebutuhan, karakteristik, dan ketercapaian nilai-nilai yang diharapkan. Dengan begitu, sangat diperhatikan sekali sebuah jalannya pemerintahan lokal atau daerah yang bersifat teknokratis, bebas dari konflik, dan hubungan kesetaraan dalam pemerintahan, agar kebijakan yang dihasilakan dapat efektif, efisien, akuntabel, dan rasional, di mana dapat terealisasi praktik pemerintahan yang baik dan partisipasi masyarakat yang lebih luas.
Namun, yang menjadi persoalan adalah apakah konsep desentralisasi tersebut benar-benar bebas nilai dan bisa diimplementasikan dengan asumsi-asumsinya yang apolitis? pada kenyataannya tidak, sebagai contoh Indonesia pasca runtuhnya rezim Soeharto, yang mana masyarakat lokal penuh dengan kontestasi dan perebutan kekuasaan untuk menjadi orang nomor satu di daerahnya. Realita tersebut menimbulkan perdebatan dan kritik-kritik terhadap perspektif Neo-Institusionalis, jika kita melihat berbagai hal yang kontradiktif dengan praktik lapangan di Indonesia. Pembangunan sosial dengan perspektif ini lebih jauh menurunkan lagi konsep-konsep yang saling berkaitan, mulai dari perlunya civil society di dalam masyarakat, hubungan saling percaya antara rakyat dan pemerintah maupun di kalangan aktor itu sendiri sebagai modal sosial, good governance, dan desentralisasi sendiri yang terfokus pada partisipasi lokal dalam pembuatan kebijakan.
Badan pembangunan internasional nampaknya terlalu memanjakan konsep Neo-Institusionalisme dan terlalu memuji negara-negara berkembang dalam hal desentralisasi, sebagai contoh Indonesia. USAID misalnya, mengatakan bahwa Indonesia dengan cepat telah bergerak dari masa-masa kontrol pusat yang begitu kuat menuju suatu sistem pemerintahan lokal yang jauh lebih terdesentralisasi dan otonom. Jelas pernyataan ini tidaklah begitu sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan masyarakat Indonesia saat ini.
Kelemahan lain yang diungkapkan oleh penulis berkaitan dengan Neo-Institusionalis adalah kenyataan bahwa terdapat berbagai kepentingan yang bersaing dalam civil society sendiri, bahkan bisa jadi kelompok-kelompok civil society yang menonjol sangat antidemokrasi dan antibarat. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat kita lihat bahwa civil society sebenarnya sangatlah syarat dengan konflik dan kepentingan, dan hal tersebut rupanya tidak diamati oleh Bank Dunia dan USAID.
Meskipun dalam literatur World Bank Group dikatakan bahwa desentarlisasi mungkin akan dapat meminimalisir kemacetan dalam pembuatan keputusan yang seringkali disebabkan oleh perencanaan dan kontrol pemerintah pusat atas kegiatan ekonomi dan sosial dan sering juga dihubungkan dengan kebijakan-kebijakan seperti inovasi, kreatifitas, serta penyediaan wadah seperti eksperimentasi lokal alam pemerintahan yang efektif.  Namun, Perlu diamati bahwa proses desentralisasi di Indonesia telah dibajak oleh berbagai kepentingan. Meskipun desain desentralisasi sejak semula cacat, hal ini bukan alasan utama yang membuat proses tersebut merosot menjadi suatu gelanggang bagi sifat predatoris para aktor lokal yang juga ikut terdesentralisasi bersamaan dengan kekuasaan dari pusat ke daerah.  Inovasi dan eksperimentasi pemerintahan lokal bisa ditafsirkan berbeda dan disalahgunakan. Contohnya adalah tumbuh kembangnya para “Raja-raja lokal” yang terjerat kasus korupsi yang banyak menjerat para pejabat daerah, hal itu dimungkinkan karena luasnya kekuasaan dan kewenangan untuk mengelola anggarannya sendiri, terlebih didukung oleh para preman-preman dan bandit lokal di dalam pemerintahan daerah.
Sebagai perbandingan, penulis menyuguhkan agar kita juga dapat melihat dan memahami bagaimana gagalnya pemerintahan lokal dan desentralisi yang diterapkan di Afrika. Bahkan di Filipina ada yang disebut “Bos Politik Lokal”, yang uniknya mereka dapat dikategorisasikan sebagai kelas teknokrat atau kelas menengah, sebab meski merupakan keturunan lokal yang menguasai suatu daerah tertentu, mereka mengenyam pendidikan di Barat dan cukup dekat dengan model pemerintahan yang teknokratis.  Fakta-fakta yang diungkapkan di atas menunjukan bahwa meskipun kaum neo-institusionalis menekankan aspek-aspek teknis dalam perencanaan kebijakan desentralisasi yang efektif, namun kasus yang terjadi di lapangan sebenarnya memperlihatkan adanya perebutan kekuasaan yang mempunyai dampak yang lebih besar dalam sebuah desentralisasi dibandingkan hanya sebuah kebijakan teknis yang terencanakan.
Menurut Vedi Hadiz, dalam realitas yang terjadi di Indonesia saat ini bahwa keseimbangan yang sebenarnya antara otoritas pusat dan regional jauh kurang berkenaan dengan pembagian kerja dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lebih merupakan perebutan nyata atas sumberdaya-sumberdaya politik dan ekonomi.  Akhirnya sebagai sebuah kesimpulan dapat dikataan bahwa kemenangan kepentingan-kepentingan predator dalam perebutan kekuasaanlah yang memiliki implikasi yang paling penting bagi desentralisasi dan demokrasi di Indonesia. Hal ini ditandai dengan keberhasilan membangun kembali diri mereka (predator) dalam  demokrasi baru. Dengan demikian, desentralisasi tidak mungkin menghasilkan suatu jenis pemerintahan teknokratis yang baik sebagaimana yang diidealkan dalam kerangka Neo-Institusionalis.


Daftar Pustaka
Sumber Bacaan Utama:
Hadiz, Vedi R. 2005.  “Desentarlisasi dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Kritik terhadap Perspektif Neo-Institusionalis” dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES. Hlm 272-304.

1 komentar:

  1. Kaum institusionalis akan setuju dengan asumsi inkeles, tetapi mereka akan menerapkannya pada lembaga politik maupun lembaga social, arah tujuan institusionali mebangun faslitas pendidikan, jaringa perdagangan, dan pegawai negeri merupakan bagian dari disain untuk mendirikan infrastruktur utama bagi pembangunan, pada gilirannya hal-hal ini menjadi dari bagi pemerintahan KONSTRUKTIVIS INSTITUSIONALIS POKER

    BalasHapus