Minggu, 12 Mei 2013

Reading Comment: “Money Politics dan Informal Governance dalam Pilkada Indonesia”

oleh: Alpiadi Prawiraningrat

Judul Artikel        : “Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal Governance                                       Practices
Penulis                  : Syarif Hidayat
Data Publikasi      : Syarif Hidayat, Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal                Governance Practices, hlm. 125-143.
          Pemilihan kepala daerah (Pilkada) selalu menjadi isu yang menarik untuk diperbincangan dalam kehidupan politik masyarakat Indonesia.  Berbagai persoalan tidak pernah lepas dari perhelatan akbar sebagai bagian dari pesta demokrasi negeri ini.  Di antara persoalan yang dihadapi, terdapat dua di antaranya yang selalu menarik perhatian untuk didiskusikan, yaitu money politics dan adanya informal governance.
          Berkaitan dengan hal tersebut, dalam tulisannya “Pilkada, Money Politics and The Dangers of Informal Governance Practices” Syarief Hidayat mengungkapkan bahwa kedua persoalann di atas muncul beriringan dengan ditetapkanya UU No. 32 Tahun 2004 sebagai salah satu legitimasi pengimplementasian sistem pilkada langsung, yang merupakan langkah besar dan fundamental menuju pemerintah lokal yang lebih demokratis  atau disebut dengan “local good governance”.
          Hidayat mengungkapkan bahwa Pilkada sebagai bentuk dari implementasi kebijakan desentralisasi diyakini dapat memberikan kesempatan pemerintah lokal untuk mengelola hajat hidupnya dan mengurangi kekuasaan pemerintah pusat yang sentralistik. Hal ini sebagai upaya mewujudkan pemerintah lokal yang lebih akuntabel, mengurangi kekuasaan pemerintah pusat dengan menciptakan keseimbangan kekuasaan antara politik pemerintah lokal dan pemerintah pusat, dan mewujudkan pemerintah lokal yang lebih responsif dan lebih bertanggungjawab kepada masyarakatnya.  Namun persoalan muncul di Indonesia.  “Democratic behaviour” yang dipahami sebagai perilaku pemilih dalam menentukan keputusan pemilihan umum, yang telah cukup memiliki pengetahuan tentang politik dan kemampuan menentukan pilihan kandidat yang tepat dengan didasarkan atas keputusan yang rasional. Namun dalam konteks Indonesia baru terjadi di tingkat intstitusional dan tipe ini masih dalam kategori demokrasi prosedural dan belum dapat dikatakan sebagai demokrasi yang substantif. 
          Jika kita mengasumsikan bahwa kondisi Indonesia saat ini sebagai transisi menuju demokrasi, lalu apa implikasi dari pemilihan langsung tersebut? Sebagai akibat dari demokrasi yang prosedural, proses politik didominasi oleh interaksi, kompetisi dan kompromi yang dilakukan oleh aktor-aktor pemerintah, dikarenakan pemilih tidak memahami pentingnya partisipasi politik dalam Pilkada dan berimplikasi kepada pembuatan keputusan yang bersifat pragmatis karena lebih melihat keuntungan apa yang akan mereka dapatkan jika memilih kandidat tertentu.  Hal ini sangat membuka kesempatan pihak-pihak tertentu melakukan money politics sebagai upaya penting dalam melakukan mobilisasi konstituen.
          Tidak mengherankan jika proses Pilkada selalu diwarnai oleh politik dan aliansi bisnis sehingga setelah Pilkada usai kepala daerah yang terpilih akan mendedikasikan dirinya kepada politisi dan klien bisnis dibandingkan dengan rakyat dan inilah yang dimaksud oleh penulis sebagai informal governance di mana pemerintahan dikontrol oleh kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang mengatur struktur pemerintah formal.
          Penulis mengasumsikan Money politics sendiri dalam Pilkada Indonesia kepada dua kategori, yaitu direct money politics, dipahami bagaimanaa calon kadidat memberikan secara langsung uang dengan jumlah nominal tertentu untuk memperoleh kekuasaan sebagai kepala daerah kepada individu atau institusi tertentu.  Sedangkan indirect money politics, di mana kandidat memberikan materi atau barang tertentu (bukan uang) sebagai upaya memperoleh dukungan kepala daerah, mislanya pemberian Sembako (sembilan bahan pokok).
          Dalam kaitannya dengan ancaman informal governance penulis mengutip ungkapan Nordholt yang mengungkapkan bahwa desentralisasi di Indonesia tidak menunjukan demokrasi, good governance dan menguatnya civil society di tingkat lokal.  Namun yang terjadi adalah korupsi, dan kekerasan atau kejahatan yang dilakukan pemerintah lokal layaknya rezim Orde Baru. Selain itu, pemerintah lokal saat ini lebih dikuasai oleh shadow regims yang memiliki karakter, aliansi para birokrat, pembisnis, militer dan preman. Sehingga yang terjadi adalah penguasaan sumber daya oleh pihak-pihak swasta dan alinsi politik tertentu tanpa memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat karena lemahnya institusi formal pemerintah.
          Mengakhiri tulisanya, Hidayat mengungkapkan dua peristiwa yang mewarnai kehidupan pilkada di Indonesia, yaitu premanisme proyek di Banten dan proyek Water Boom di Jambi, sebagai bentuk dari shadow regims, di mana pemerintahan dikendalikan oleh kompensasi bisnis dan infomal governance, sebagai pemegang kekuasaan dalam Pilkada di masing-masing daerah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar